Jam Malam Pelajar di Jawa Barat: Solusi Parsial atas Masalah Struktural

Oleh:abahroy
Journalist aswinnews.

Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/DISDIK tertanggal 23 Mei 2025 mengatur penerapan jam malam bagi peserta didik, melarang mereka beraktivitas di luar rumah mulai pukul 21.00 hingga 04.00. Kebijakan ini bertujuan membentuk generasi berkarakter “Panca Waluya”—Cageur (sehat), Bageur (baik), Bener (benar), Pinter (pintar), dan Singer (terampil).

Namun, kita patut bertanya: seefektif apakah jam malam ini? Dan apakah ini solusi menyentuh akar, atau hanya menambal permukaan?

Secara niat, kebijakan ini jelas lahir dari kepedulian. Ia mencoba melindungi pelajar dari pengaruh lingkungan malam yang rentan terhadap kenakalan, kekerasan, atau pergaulan bebas. Tapi pendekatan yang bersifat restriktif ini berisiko menyederhanakan persoalan yang sebenarnya kompleks dan multidimensional.

Anak-anak bukan hanya produk keluarga, tetapi juga produk dari sistem pendidikan, lingkungan sosial, dan tata kota yang mereka tempati. Ketika ruang-ruang aman, kreatif, dan produktif bagi remaja hampir tidak tersedia, maka bukan hal aneh jika pelajar mencari pelarian di luar rumah, termasuk di malam hari. Larangan keluar malam bisa saja meredam gejala, namun tidak serta-merta menyelesaikan sebab.

Kebijakan ini juga memunculkan pertanyaan tentang pelaksanaannya. Gubernur mendelegasikan tanggung jawab kepada pemerintah kota/kabupaten, kelurahan, hingga RT/RW, sementara kontrol utama tetap di tangan orang tua dan sekolah. Di Bandung, misalnya, wali kota menugaskan Linmas dan Satpol PP untuk melakukan patroli malam. Meski bersifat non-represif, mekanisme ini masih menyimpan potensi bias dalam perlakuan, terutama terhadap anak-anak dari kalangan marginal.

Efektivitas kebijakan ini akan sangat tergantung pada konsistensi dan pendekatan humanis dalam pelaksanaannya. Sayangnya, pengalaman kita dengan kebijakan top-down sering menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan evaluasi menyeluruh, ia akan berhenti pada angka dan laporan formal, bukan perubahan perilaku nyata.

Jam malam mungkin bisa mengatur ruang, tapi tidak serta-merta membentuk karakter. Jika ingin membentuk generasi yang “Panca Waluya,” maka kebijakan pendidikan dan pembangunan remaja harus lebih progresif: membuka ruang ekspresi, menyediakan aktivitas alternatif yang menarik, dan membangun kedekatan antara negara dan anak-anak muda melalui pendekatan partisipatif, bukan hanya larangan.

Pendidikan karakter sejati tidak dibentuk melalui jam larangan, melainkan melalui kehadiran negara yang memfasilitasi tumbuh kembang remaja secara utuh. Pendidikan cinta, bukan sekadar ketertiban, adalah kunci.

Jam malam bisa menjadi awal, tetapi bukan jawaban akhir. Ia hanya efektif jika menjadi bagian dari strategi yang lebih besar: memanusiakan anak didik, bukan sekadar mengatur jam keluar rumah mereka.

Cirebon,03 Juni 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *