Menguji Filosofi Freire dan Penerapannya dalam Pendidikan Indonesia

Oleh: Sujaya, S. Pd. Gr.
( Guru SMPN 3 Sindang Indramayu)

Pendidikan di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi tantangan mendasar yang kompleks: ketimpangan akses, rendahnya daya kritis siswa, pembelajaran yang terpusat pada guru, serta kecenderungan sistem yang menekankan capaian kognitif semata. Dalam konteks ini, pemikiran Paulo Freire—seorang filsuf pendidikan asal Brasil—menawarkan gagasan alternatif yang sangat relevan, yakni pendidikan yang membebaskan.

Freire melalui karyanya yang monumental Pedagogy of the Oppressed (1970), mengkritik sistem pendidikan tradisional yang ia sebut sebagai “banking concept of education”, yaitu model di mana guru menjadi subjek yang menanamkan informasi ke dalam diri siswa yang diposisikan pasif. Freire menulis, “Education thus becomes an act of depositing, in which the students are the depositories and the teacher is the depositor.”

Model ini sangat mirip dengan praktik pendidikan Indonesia saat ini, di mana pembelajaran sering kali masih didominasi oleh ceramah satu arah, ulangan hafalan, dan evaluasi yang sempit berbasis angka. Padahal, sebagaimana Freire sampaikan, pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan sekadar transfer pengetahuan. Ia menekankan perlunya dialog, kesadaran kritis (conscientization), dan transformatif, agar siswa mampu memahami realitas sosial dan mengambil peran aktif dalam perubahan.

Realitas Pendidikan Indonesia

Dalam berbagai studi, pendidikan Indonesia dinilai masih berorientasi pada nilai ujian dan belum sepenuhnya menumbuhkan karakter serta pemikiran kritis. Survei PISA (Programme for International Student Assessment) oleh OECD tahun 2022 menunjukkan bahwa kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional. Ini bukan semata persoalan kurikulum, tetapi juga mencerminkan bahwa pembelajaran belum mendorong siswa untuk berpikir, berdialog, dan mengkritisi dunia di sekitar mereka.

Lebih dari itu, disparitas antara kota dan desa, serta ketimpangan kualitas guru dan fasilitas, menjadi realitas yang menegaskan pentingnya membangun sistem pendidikan yang berorientasi pada keadilan sosial sebagaimana diperjuangkan oleh Freire. Dalam konteks ini, Freire menegaskan, “To surmount the situation of oppression, people must first critically recognize its causes.”

Implementasi dan Tantangan

Indonesia sebenarnya telah mencoba menggeser paradigma pembelajaran melalui Kurikulum Merdeka yang menekankan pada pembelajaran berdiferensiasi, projek penguatan profil pelajar Pancasila, dan kemerdekaan berpikir siswa. Namun, tantangannya adalah apakah para guru benar-benar memahami dan menerapkan pendekatan dialogis dalam praktik sehari-hari?

Filosofi Freire menuntut peran aktif guru sebagai fasilitator dialog, bukan otoritas pengetahuan. Di lapangan, masih banyak guru yang belum diberdayakan secara metodologis untuk menciptakan pembelajaran reflektif dan transformatif. Ini sejalan dengan kritik Freire bahwa pendidikan harus melibatkan perubahan kesadaran guru itu sendiri.

Dr. Siti Komariah, dosen pendidikan di UPI, dalam sebuah seminar menyatakan, “Pendidikan kita akan terus stagnan jika guru masih takut berdialog dengan siswanya. Ketakutan akan kehilangan otoritas adalah bentuk lain dari kekuasaan yang tak disadari.” Pernyataan ini mencerminkan bahwa perubahan pendidikan tak cukup hanya di tingkat kurikulum, tetapi juga mindset.

Menuju Pendidikan yang Membebaskan

Filosofi Freire bukan hanya sebuah gagasan, tetapi ajakan untuk merevolusi cara berpikir tentang pendidikan. Indonesia sebagai negara dengan latar belakang keragaman dan tantangan sosial yang tinggi sangat berpotensi mengadopsi pendekatan ini. Pendidikan yang membebaskan dapat menjadi jalan keluar dari sistem yang menekan, melahirkan generasi yang sadar, kritis, dan peduli terhadap perubahan sosial.

Namun, perubahan itu membutuhkan kesungguhan sistemik—mulai dari pelatihan guru, evaluasi yang inklusif, hingga keterlibatan aktif komunitas pendidikan. Seperti yang ditegaskan Freire, “Liberating education consists in acts of cognition, not transferals of information.”

Pendidikan Indonesia ke depan harus berani keluar dari zona nyaman dan menggugat sistem yang memenjarakan akal sehat. Sebab hanya dengan kesadaran dan pembebasan, pendidikan bisa menjadi alat perjuangan menuju keadilan dan kemanusiaan.

Studi Kasus: Praktik Pendidikan Membebaskan di Sekolah Indonesia

  1. SMK Negeri 1 Banyuwangi – Kelas Industri dan Pendidikan Kontekstual

SMK Negeri 1 Banyuwangi dikenal dengan program Teaching Factory, yaitu pembelajaran berbasis industri nyata. Dalam program ini, siswa tak hanya menerima teori di kelas, melainkan juga berdialog langsung dengan dunia kerja dan memecahkan persoalan riil di lapangan. Mereka memproduksi barang, melayani pelanggan, bahkan mengelola keuangan usaha sendiri.

Model ini mencerminkan pedagogi kritis Freire karena siswa tidak diposisikan sebagai “penampung informasi” tetapi sebagai pelaku aktif yang belajar melalui refleksi, aksi, dan pengalaman langsung. Kepala sekolah, Drs. Jumain, dalam sebuah wawancara menyebutkan:

“Kami ingin siswa berpikir kritis, tidak hanya patuh pada instruksi. Mereka harus bisa mengambil keputusan dan bertanggung jawab.”

Ini sejalan dengan gagasan Freire bahwa siswa harus menjadi subjek aktif yang mengkritisi realitasnya, bukan sekadar menghafal teori.

  1. SMPN 3 Sindang, Indramayu – Pembelajaran Berbasis Projek dan Partisipasi Siswa

SMPN 3 Sindang di Kabupaten Indramayu juga mulai menerapkan pendekatan dialogis dan partisipatif melalui Kurikulum Merdeka. Guru tidak hanya menjadi pusat informasi, tetapi lebih banyak berperan sebagai fasilitator. Siswa terlibat dalam kegiatan eksploratif seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang mengajak mereka untuk memecahkan masalah lokal seperti pengolahan sampah plastik, pencemaran sungai, hingga literasi lingkungan.

Dalam kegiatan tersebut, siswa berdiskusi, mengumpulkan data, menganalisis, dan mempresentasikan solusi—bukan sekadar mengerjakan soal latihan.
Guru Bahasa Indonesia, Sujaya, S.Pd., Gr. menyatakan:

“Kami ingin anak-anak menjadi pemikir. Bukan hanya mengulang apa yang guru katakan, tapi bisa menyuarakan pendapatnya.”

Aktivitas seperti ini memperlihatkan bahwa pendidikan yang memerdekakan siswa bukan utopia. Ketika diberi ruang untuk berpikir, berdialog, dan mencipta, anak-anak Indonesia pun bisa menjadi subjek yang kritis dan kreatif.

  1. SMA Kolese Kanisius Jakarta – Pendidikan Humanis dan Keadilan Sosial

SMA Kanisius sebagai sekolah Jesuit terkenal mengedepankan pendidikan humanis dan keadilan sosial, sejalan dengan semangat Freire. Di sekolah ini, siswa didorong untuk menyadari realitas sosial di sekitar mereka melalui program live-in ke daerah tertinggal, serta diskusi sosial-politik yang kritis dan terbuka.

Salah satu alumninya, Rocky Gerung, pernah menyebut bahwa pendidikan yang ia terima di Kanisius “bukan menjejalkan jawaban, tapi membangun pertanyaan”. Ini mencerminkan proses conscientization atau kesadaran kritis sebagaimana yang diperjuangkan oleh Freire.

Kesimpulan

Jalan Panjang Menuju Pendidikan Transformatif

Dari ketiga studi kasus tersebut, kita bisa melihat bahwa nilai-nilai pendidikan Freire bukan hanya konsep filosofis, tapi bisa diterapkan secara nyata di berbagai konteks—baik di sekolah negeri pinggiran hingga sekolah swasta elit.

Namun tantangan utamanya tetap: apakah sistem pendidikan nasional bersedia bertransformasi secara menyeluruh? Pendidikan membebaskan menuntut perubahan paradigma dari semua pihak—guru, kepala sekolah, pembuat kebijakan, dan masyarakat.

Sebagaimana Freire menyatakan:

“The radical, committed to human liberation, does not become the prisoner of a ‘circle of certainty’ within which reality is also imprisoned.”
(Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed)

Pendidikan Indonesia perlu keluar dari lingkaran kepastian, dan masuk ke ruang dialog yang membebaskan serta memberdayakan.

Indramayu. 7/7/2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *