Kajian Pendidikan dan Tanggapan Kritis terhadap Rencana Pembinaan Siswa Nakal di Barak Militer/Polri

Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.
(Dewan Penasehat DPP ASWIN)

Indramayu. 1/5/2025 aswinnews.com

Pendidikan karakter merupakan aspek fundamental dalam sistem pendidikan nasional, yang bertujuan membentuk peserta didik menjadi insan yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berkepribadian baik. Rencana Gubernur Jawa Barat untuk menjemput siswa “nakal” dan membina mereka di barak militer atau Polri memang dilandasi niat baik untuk memperkuat pembinaan karakter. Namun, gagasan ini menimbulkan pro dan kontra serta perlu ditinjau secara kritis dari sisi pedagogis, psikologis, dan etika pendidikan.

Kajian Pendidikan:

Secara filosofis, pendekatan pendidikan seharusnya humanis dan inklusif. Pendidikan bukan sekadar soal kedisiplinan, tetapi juga pembentukan nilai dan empati. Pendekatan militeristik dalam dunia pendidikan dapat menggeser makna pembinaan menjadi pemaksaan. Anak-anak yang memiliki perilaku menyimpang belum tentu merupakan “nakal” secara mutlak. Banyak dari mereka yang justru merupakan korban dari lingkungan yang tidak mendukung, pola asuh yang keliru, atau permasalahan psikososial lainnya.

Dari perspektif psikologi pendidikan, pendekatan yang terlalu keras dapat menimbulkan trauma atau perlawanan psikologis. Anak remaja berada dalam fase pencarian jati diri. Jika mereka diperlakukan sebagai “masalah” dan bukan “subjek pendidikan”, maka yang muncul bisa jadi justru pembangkangan, bukan perubahan positif.

Tanggapan Kritis:

Rencana memasukkan siswa ke barak militer/Polri tampaknya lebih menitikberatkan pada penegakan disiplin daripada pendekatan solutif yang menyeluruh.
Hal ini patut dikritisi karena:

  1. Stigmatisasi : Label “nakal” bisa menimbulkan stigma sosial yang melekat dan memengaruhi masa depan siswa, terutama jika pendekatan hukuman dilakukan secara terbuka.
  2. Pendekatan satu arah. Tidak semua siswa bisa dibina dengan cara yang sama. Dibutuhkan pendekatan personal dan dukungan psikologis, bukan hanya penanaman kedisiplinan melalui tekanan fisik atau aturan ketat.
  3. Ketiadaan partisipasi keluarga dan sekolah Pembinaan karakter seharusnya melibatkan ekosistem pendidikan secara utuh, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Pemisahan siswa ke barak bisa melemahkan peran sekolah sebagai pusat pendidikan karakter.
  4. Potensi pelanggaran HAM Anak: Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, aman, dan mendukung perkembangan mereka secara menyeluruh. Perlakuan yang bersifat koersif bisa melanggar prinsip perlindungan anak.

Kesimpulan

Pembinaan karakter siswa memang perlu ditingkatkan, apalagi di tengah maraknya kenakalan remaja. Namun, pendekatan yang diambil hendaknya tetap berlandaskan prinsip pendidikan yang manusiawi dan konstruktif. Perlu ada program pembinaan yang holistik berbasis sekolah, dengan dukungan konselor, guru BK, dan pendekatan komunitas, bukan sekadar penempatan di barak militer. Pendidikan sejatinya bukan menghukum, tetapi membimbing dan menyelamatkan masa depan anak.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *