“Tiga Kartu” Nur Agis: Ketika Pejabat Membajak Konstitusi demi Kenyamanan Kekuasaan

Aswinnews.com

SERANG-Di tengah upaya bangsa ini mendorong transparansi dan pengawasan publik, Wakil Wali Kota Serang Nur Agis Aulia justru melontarkan pernyataan yang berbahaya: wartawan dan LSM tak boleh mewawancarai sekolah jika tak mengantongi “tiga kartu”—kartu media berbadan hukum, kartu keanggotaan organisasi profesi, dan kartu UKW.

Pernyataan ini bukan sekadar sesat pikir. Ini adalah bentuk nyata pembangkangan terhadap konstitusi, sebuah gejala birokrasi paranoid yang ingin menyingkirkan mata-mata publik dari ruang-ruang kekuasaan yang selama ini nyaman tak tersentuh.

“Kalau tidak punya tiga kartu itu, boleh ditolak,” kata Agis, tegas, seperti dalam video Bidik Banten yang kini menyulut kemarahan masyarakat sipil.

Pertanyaannya: sejak kapan pejabat publik berhak menentukan siapa yang boleh bertanya? Sejak kapan akses terhadap informasi publik dibatasi dengan administrasi yang tak diatur hukum?

Pernyataan Nur Agis secara telanjang telah melanggar dua undang-undang utama negeri ini:

  1. Pasal 4 Ayat 3 UU No. 40/1999 tentang Pers: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.”
  2. Pasal 9 UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: “Badan publik wajib menyediakan informasi kepada pemohon informasi publik.”

Tak ada satu pasal pun dalam kedua undang-undang itu yang mewajibkan “tiga kartu” sebagai syarat mewawancarai sekolah. Maka logika sederhananya: Nur Agis menciptakan hukum sendiri, dengan logika kekuasaan yang otoriter, bukan hukum negara.

Aktivis dan jurnalis menilai tindakan ini bukan saja ngawur, tetapi juga punya maksud laten: menghalangi kontrol terhadap potensi penyimpangan di sekolah-sekolah, termasuk dugaan praktik pungutan liar yang saat ini tengah disorot.

“Kami sedang telusuri penyalahgunaan dana BOS. Tapi justru dihadang aturan konyol. Ini jelas penggiringan agar praktik kotor tetap tertutup,” ujar Aminudin, Ketua LSM KPK Nusantara Banten.

“Ini bukan era Orba. Ini era konstitusi. Tapi pejabat ini tak paham batas kewenangannya,” kecam Harry Wibowo dari FPII.

Namun yang lebih mencemaskan: pemerintah kota bungkam. Tak ada teguran. Tak ada klarifikasi. Tak ada permintaan maaf. Sikap diam ini hanya menegaskan: apakah skandal ini hasil sikap pribadi, atau justru cerminan budaya kekuasaan di tubuh Pemkot Serang?

Karena yang harus diingat oleh setiap pejabat publik adalah ini: wartawan bukan peminta-minta akses. Mereka penjamin hak rakyat untuk tahu. Dan LSM bukan pengganggu. Mereka mitra demokrasi untuk memastikan kekuasaan tidak berbuat sewenang-wenang.

Nur Agis, dengan kebijakan “tiga kartunya”, tidak hanya menunjukkan ketidaktahuan terhadap hukum. Ia telah menempatkan dirinya sebagai musuh kebebasan pers, musuh akuntabilitas, dan musuh konstitusi.

Jika pejabat merasa terganggu dengan pertanyaan wartawan, bisa jadi bukan karena pertanyaannya kasar, tapi karena jawaban yang ingin disembunyikan terlalu kotor.

Penulis : susanto

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *