Oleh:
TM. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Professor, Sekolah Pascasarjana USK Banda Aceh
Editor: Kenzo | Redaksi: AswinNews
ASWINNEWS.COM – Tajam, Akurat, Berimbang, Terpercaya, dan Ter-Update
BANDA ACEH – Hari Raya Idul Adha 1446 H yang baru saja dirayakan umat Muslim menjadi momen penting untuk merenungi makna kepemimpinan sejati: pengorbanan. Sebuah nilai universal yang tidak hanya milik agama, tapi juga fondasi dari kepemimpinan moral dan berorientasi rakyat.
Pengorbanan Nabi Ibrahim AS adalah simbol tertinggi dari penyerahan total kepada kebenaran, sekaligus representasi keteguhan pemimpin sejati. Ketika beliau bersedia mengorbankan putra satu-satunya, Ismail AS—yang kelahirannya ditunggu puluhan tahun—demi perintah Allah, tersampaikan kepada kita bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang sanggup menanggalkan kepentingan pribadi demi sesuatu yang lebih besar: umat.

Keteladanan Ibrahim AS bukan sekadar legenda keagamaan. Ia adalah nilai historis yang melahirkan pemimpin-pemimpin dunia yang berani menderita demi bangsa. Dalam konteks Indonesia, Bung Karno adalah sosok yang mengalami getirnya perjuangan karena membela tanah air—diisolasi, diasingkan ke Ende dan Bengkulu, bahkan diancam dibunuh. Namun semangatnya tak padam. Suatu ketika, Bung Karno bahkan mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan seorang bocah dari tentara sekutu di Magelang.
Lebih dari itu, demi membangun Monumen Patung Pancoran sebagai simbol penghormatan kepada para pahlawan, Bung Karno rela melelang mobil pribadinya. Bahkan, barang-barang milik pribadi di rumah dibawa ke kantor untuk kebutuhan rakyat.

Sayangnya, wajah kepemimpinan hari ini justru berkebalikan. Jika dulu pemimpin membawa miliknya untuk rakyat, sekarang banyak oknum pejabat yang membawa milik negara untuk kepentingan pribadi.
Kepemimpinan yang Hilang: Dari Semangat Pengorbanan Menuju Pencitraan Kosong
Nama besar Haji Agus Salim juga layak dikenang. Diplomat ulung ini hidup dalam kesederhanaan. Ia tinggal di rumah kontrakan, uang belanja terbatas, namun punya reputasi global dalam perjuangan diplomasi Indonesia. Sebagai Menteri Luar Negeri dan anggota Volksraad, Agus Salim adalah gambaran kepemimpinan yang tak tergoda kenyamanan dan popularitas.
“Leiden is lijden” — memimpin adalah menderita.
Pepatah lama dari Belanda ini semakin asing didengar, apalagi diterapkan di tengah maraknya kepemimpinan berbasis pencitraan. Gaya hidup mewah, politik akrobatik demi elektabilitas, dan kebijakan yang berorientasi kelompok telah menggerus substansi pemimpin sejati.
Kini, korupsi menjadi wajah paling telanjang dari krisis moral elite bangsa. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Negara-negara tetangga yang secara sumber daya kalah jauh dari kita justru lebih baik dalam tata kelola dan kesejahteraan.
Korupsi telah menghalangi mesin pembangunan berjalan optimal. Cita-cita proklamator dan pejuang terdahulu menjadi tertahan, sementara negara gagal melompat dari negara berkembang menuju “high income country.”
Saatnya Berhenti Bertanya: Apa yang Negara Beri Padaku?
Momentum Idul Adha harus menjadi cermin. Bukan hanya untuk rakyat, tetapi untuk para pemimpin. Sudah saatnya para elite berhenti bertanya “apa yang diberikan negara padaku”, dan mulai menunduk bertanya “apa yang sudah aku berikan untuk bangsa ini?”
Indonesia tak butuh pemimpin yang sekadar lihai merangkai citra. Negara ini butuh sosok yang berani hidup sederhana, berkorban, konsisten dalam kata dan perbuatan, serta sanggup berkata tidak kepada godaan kekuasaan dan uang. Pemimpin yang tak gentar berdiri di garis depan, bukan sekadar tampil di layar.
Jika Nabi Ibrahim AS telah menepati janjinya kepada Tuhan untuk mengorbankan putranya, mungkinkah para pemimpin bangsa ini menepati janji mereka kepada rakyat—yang tertulis dalam setiap sumpah jabatan?
Sagoe Atjeh Rayeuk, 11 Dzulhijjah 1446 H
Semoga tulisan ini menjadi refleksi bagi kita semua.
Redaksi AswinNews.com