Jakarta – Aswinnews.com
Rumah Belajar ICW menyelenggarakan Diskusi Media: Urgensi Menyegerakan Pembahasan Revisi UU Pemilu, Senin (28/04).
Di tengah lambannya pembahasan untuk melakukan revisi dan perbaikan
regulasi kepemiluan di Indonesia, penting untuk menyerukan adanya kebutuhan mendesak untuk
perbaikan Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Terlebih lagi paket UU Pemilu sudah
masuk dalam program legislasi nasional prioritas di tahun 2025. Perbaikan ini bukanlah sekadar
agenda teknis atau rutin lima tahunan pasca pemilu, melainkan sebuah langkah krusial dalam menata
ulang serta memperkuat fondasi demokrasi elektoral Indonesia.
Sejak diundangkan pada 2017, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi dasar pelaksanaan
kontestasi politik di Indonesia pada Pemilu 2019 dan 2024. Namun dalam perhelatan dua kali pemilu
terakhir, kita menyaksikan bagaimana kelemahan sistem hukum berimplikasi pada kekacauan teknis,
ketegangan antar lembaga, minimnya perlindungan atas hak politik warga negara, bahkan menjadi
pintu masuk dari korupsi politik. Permasalahan yang terjadi bukanlah persoalan teknis prosedur
semata, namun menyentuh pada kondisi demokrasi substansial kita hari ini sehingga penting untuk
menjadikannya sebagai cermin reflektif atas kondisi demokrasi kita. Apakah demokrasi akan tumbuh
sehat dan substansial, atau justru berjalan di tempat dalam bayang-bayang elite yang saling berebut
kekuasaan.
Bertaruh pada Waktu: Mengapa Penting Dibahas Segera
Waktu dalam politik bukan sekadar penanda teknis, tetapi ruang yang penuh konsekuensi. Jika
pembahasan revisi UU Pemilu kembali ditunda, besar kemungkinan kita akan terperosok kembali ke
dalam situasi yang tidak menguntungkan: saat suhu politik sudah mulai memanas menjelang pemilu
dan ruang deliberatif publik tersingkir oleh kepentingan pragmatis yang mendesak.
Jeda Waktu Antara Pengesahan UU Pemilu dan Pelaksanaan Pemilu
UU Pemilu Tanggal Berlaku
Pemilu
Terkait
Tanggal Awal
Tahapan Pemilu
Jeda Waktu
Menuju tahapan
Pemilu
UU No. 3/1999 1 Februari 1999 Pemilu 1999 7 Juni 1999 ±4 bulan
UU. No. 12/2003 11 Maret 2003 Pemilu 2004 1 April 2003 ±1 bulan
UU No. 10/2008 31 Maret 2008 Pemilu 2009 5 Juli 2008 ±3 bulan
UU No. 8/2012 11 Mei 2012 Pemilu 2014 11 Agustus 2012 ±3 bulan
UU No. 7/2017 16 Agustus 2017 Pemilu 2019 3 September 2017 ±1 bulan
Data di atas menunjukkan adanya pola konsisten bahwa pembahasan dan pengesahan UU Pemilu
hampir selalu dilakukan dalam jarak waktu yang sempit menjelang tahapan pelaksanaan pemilu
dimulai. Pola ini bukan hanya tidak ideal dari sisi teknis legislasi, tetapi juga mempersempit ruang
partisipasi bermakna dari publik. Tidak hanya itu, risiko kompromi elite dalam perumusan kebijakan
yang berujung pada kepentingan elektoral semata juga semakin meningkat. Revisi UU Pemilu yang
sangat berhimpitan dengan waktu pelaksanaan tahapan pemilu akhirnya mengakibatkan proses
pembahasan menjadi terburu-buru, sarat kompromi, serta minim ruang partisipasi substantif.
Ketika proses legislasi dilakukan dalam situasi yang demikian, yang terjadi bukanlah penguatan
sistem, melainkan penyelamatan kepentingan. Belum lagi pembahasan revisi UU Pemilu sering
menghasilkan pasal-pasal krusial yang lekat kaitannya dengan kepentingan elektoral peserta pemilu.
Diantaranya, seperti pilihan desain sistem pemilu, besaran alokasi kursi per-daerah pemilihan, serta
ambang batas pencalonan. Dampaknya, pasal-pasal mengenai aspek manajemen pemilu dan
penegakan hukum pemilu misalnya, sering terabaikan atau mendapatkan porsi waktu yang terbatas.
Maka dari itu, pembahasan revisi UU Pemilu mendesak untuk dilakukan saat ini.
Semakin dekat kita ke tahun 2029, semakin sempit pula ruang bagi pembahasan menyeluruh dan
mendalam. Berkaca dari pengalaman pemilu sebelumnya, revisi undang-undang yang dilakukan
dalam waktu yang terlalu dekat dengan tahapan pemilu justru melahirkan peraturan yang reaktif dan
tidak deliberatif. Sering kali, perbaikan regulasi hanya menyentuh permukaan, tanpa sempat
menjangkau akar persoalan. Karenanya, penting untuk mendesak revisi UU Pemilu untuk diselesaikan
paling lambat tahun 2025 agar menyisakan waktu yang cukup dalam hal penyesuaian sebagai dasar
hukum pelaksanaan Pemilu 2029.
Membahas revisi sejak sekarang berarti memberi ruang bagi penyusunan norma yang matang dan
partisipatif. Ini memberi kesempatan bagi publik, penyelenggara, akademisi dan masyarakat secara
umum untuk terlibat dalam diskursus yang komprehensif untuk membentuk arah demokrasi ke depan.
Tidak kalah penting, ini juga memastikan bahwa penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk
menyesuaikan kebijakan/ menyusun peraturan pelaksanaan dan sistem teknis pendukung terkait, serta,
mensosialisasikannya, dan memperkuat kelembagaan internal. Artinya, revisi ini bukan sekadar
tentang efisiensi waktu, tetapi tentang menciptakan ekosistem politik yang sehat, deliberatif, dan
bebas dari jebakan forum “sikut antar kepentingan.
” Kita bertaruh pada waktu, dan waktu terbaik
untuk memperbaiki adalah ketika kita belum terlambat.
Enam Aspek Utama yang Perlu Diperhatikan
Melalui pengalaman penyelenggaraan, kajian yang mendalam, serta masukan substantif dari multi
pihak, maka terdapat beberapa poin penting yang layak dijadikan fondasi pembahasan revisi.
Pertama, kodifikasi UU Pemilu menjadi kebutuhan mendesak. Menyatukan regulasi pemilu legislatif,
presiden, dan kepala daerah dalam satu kerangka hukum akan menghindari konflik norma dan
menyederhanakan pelaksanaan di lapangan. Ini bukan sekadar efisiensi administratif, melainkan
upaya menciptakan hukum yang logis dan kohesif.
Kedua, pilkada langsung harus tetap dipertahankan. Ini adalah ruang partisipasi politik rakyat yang
telah terbukti memperkuat kontrol warga atas pemerintahan lokal. Argumen soal tingginya biaya
semestinya direspon dengan pembenahan sistem pendanaan politik dan pengawasan serta penegakan
hukum, bukan dengan memangkas hak pilih warga.
Ketiga, partisipasi bermakna harus menjadi prinsip utama dalam penyusunan revisi. Publik bukan
hanya penonton, tetapi aktor penting dalam menentukan arah dan isi undang-undang. DPR dan
pemerintah harus membuka ruang seluas-luasnya untuk masukan dari berbagai pihak, serta menjamin
transparansi dalam proses pembahasannya.
Keempat, manajemen pemilu dan mekanisme penegakan hukum perlu menjadi salah prioritas
pembahasan selain aspek sistem pemilu. Pemilu tidak bisa lagi dibiarkan berjalan dengan logika
darurat. Kepastian prosedur dan pembagian kewenangan antara KPU, Bawaslu, dan DKPP perlu
dirumuskan ulang secara presisi.
Kelima, akuntabilitas dana politik harus diperkuat. Transparansi aliran dana kampanye, pelaporan
keuangan partai, serta mekanisme sanksi terhadap pelanggaran harus diatur dengan lebih tegas dan
adil.
Keenam, penyelenggaraan pemilu yang aman dan inklusif perlu menjadi prinsip utama dalam
penyusunan revisi UU Pemilu. Ini penting untuk memastikan seluruh warga negara dapat
menggunakan hak pilih dan hak dipilihnya tanpa hambatan, ancaman, atau diskriminasi. Masalah
kekerasan, eksklusi, dan ketidaksetaraan harus diatasi melalui penguatan perlindungan, penyediaan
akomodasi layak, serta jaminan hak pilih bagi kelompok rentan, sehingga tidak ada satu pihak pun
yang tertinggal dalam demokrasi prosedural di Indonesia.
Kesimpulan
Melalui siaran pers ini, kami melihat bahwa revisi UU Pemilu adalah pekerjaan rumah yang tidak bisa
ditunda. Pemerintah dan DPR harus segera mengambil langkah konkret:
Memprioritaskan agenda pembahasan Revisi UU Pemilu pada tahun 2025;
Mempertimbangkan metode kodifikasi dalam agenda revisi UU Pemilu dalam tujuan
menciptakan hukum yang logis dan kohesif;
Menjamin proses legislasi dilakukan tanpa bertentangan dengan konstitusi serta melibatkan
partisipasi publik secara bermakna dalam setiap tahapannya.
Demokrasi Indonesia tidak bisa terus bergantung pada regulasi tambal sulam. Kita membutuhkan
sistem dan tata kelola pemilu yang adil, transparan, dan partisipatif. Untuk itu, waktu terbaik untuk
bertindak adalah sekarang, atau sebelum semuanya terlambat.
Ine