Benturan Peradaban Di Indonesia Terlihat Dari Tergesernya Umat Islam Ke Jurang Kapitalistik
Oleh : Jacob Eresete
Wartawan Lepas
Clash of Civilizations (CoC) yang dimaksud dari Benturan Peradaban menurut Samuel P. Huntington sebagai teori menunjuk identitas budaya dan agama yang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca Perang dingin. Samuel P. Huntington memposisikan konsep peradaban sebagai bentuk identitas budaya yang tinggi dapat menjadi lensa dalam menganalisis konflik politik.
Tanda dari berakhirnya Perang dingin itu menurut dia ditandai oleh runtuhnya ideologi komunisme. Sementara wilayah konflik meluas melewati fase Barat dan mewarnai hubungan antara peradaban Barat dan non Barat. Sementara umat Islam sendiri memang melihat Barat sebagai koloni yang harus dilawan akibat dari pandangan Barat yang memposisikan umat Islam sebagai ancaman yang harus dilumpuhkan.
Setidaknya, dari pertanyaan Bernard Lewis yang usil untuk mempersoalkan mengapa muncul dari umat Islam yang anti Amerika atau Barat. Setidaknya, Amerika adalah yang membangun opini publik tentang Islam garis keras yang selalu dikaitkan dengan teroris. Sedangkan Amerika sendiri menjadi pelopor dan inisiator pembuat onar di berbagai negara Islam utamanya di Timur Tengah.
Jadi wajar bila dalam pandangan fundamentalis Umat Islam (Muslim), Amerika selalu dipandang sebagai penjahat yang keji. Karena pengaruh budaya dan ekonomi Amerika jauh lebih dominan dibanding sejumlah negara lain. Setidaknya sejak pasca perang dingin, Amerika jelas telah memposisikan ideologi kelompok fundamentalis Muslim menjadi rival utamanya yang dianggap paling menakutkan. Maka itu kampanye hitam untuk umat Islam yang dipotret dengan sebutan Green Peril terus dihembuskan. Dimana green untuk menunjukkan warna Islam dan perilaku sebagai simbolik dari Muslim fundamentalis Timur Tengah yang dikenotasikan sebagai gerakan revolusi yang agresif sebagai stigma buruk untuk meruntuhkan peradaban Islam yang akan mewarnai bumi. Begitulah pasca perang dingin yang berlanjut dengan Perang dingin baru yang disebut oleh Jurgensmeyer The News Cold War : Religius Nationalism Confront the Scular State (1993). Dalam realitasnya memang Amerika mempunyai pengaruh budaya yang kuat dan luas.
Menarik juga pendapat Fuller bahwa ideologi yang akan datang melawan Barat sangat tergantung pada pemimpin yang gigih membela kepentingan negara. Seperti China, India, Iran, Mesir termasuk Indonesia yang mampu — asalkan sungguh mau — melawan hegemoni Barat atau Amerika.
Catatan para tokoh dunia, dikstomi Barat- Islam kembali mencuat akibat persepsi yang dari pembagian dunia pasca perang dingin yang dibelah menjadi Timur dan Barat. Dan terbilang sejak tahun 1980-an Barat telah menentukan sikap untuk berhadapan dengan Islam dengan melancar berbagai isu sebagai penyulut konflik. Perseteruan hegemoni politik dan ekonomi yang dijadikan strategi andalan untuk melumpuhkan lawan ini, tampaknya telah mengena pada sasarannya di Indonesia. Inilah wajah dari benturan peradaban yang telah merepotkan bangsa Indonesia (dengan Muslim mayoritas) tampak semakin terjerembab ke dalam sikap dan sifat yang semakin cenderung kapitalistik.
Yang jelas dan pasti, sembilan peradaban kontemporer yang dia identifikasi mulai dari peradaban Barat, China, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam dan Kristen Ortodoks. Adapun benturan yang paling keras, diantarana adalah antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Asumsi inilah jelas menunjukkan bahwa sebagian besar ilmuan Barat memandang Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Dan stereotipe yang simplistis ini membuktikan wajah the rage of Islam. Fenomena benturan peradaban di Indonesia telah menggeser umat Islam ke jurang materialisme kapitalistik, meski belum juga dominan menguasai ekonomi dan pasar yang justru semakin memposisikan umat Islam sebagai konsumen empuk yang didominasi umumnya pengusaha non Muslim.
Banten, 10 Maret 2025
—