Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
(Dewan Penasihat DPP ASWIN)
Indramayu. -aswinnews.com-
Asesmen merupakan salah satu instrumen penting dalam dunia pendidikan. Melalui asesmen, guru maupun pemerintah dapat mengetahui sejauh mana siswa memahami materi, menguasai keterampilan, dan menginternalisasi nilai-nilai pendidikan. Salah satu program asesmen yang kini banyak diperbincangkan adalah Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Menteri Kemdikdasmen, Abdul Mut’i, menegaskan bahwa mulai tahun pelajaran 2026/2027 ANBK akan dijadikan tolok ukur Tes Kompetensi Akademik (TKA) untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, karena menurutnya nilai dari guru cenderung tidak lagi dapat dijadikan ukuran obyektif. Indramayu. 20/9/2025
Sekilas, tujuan ANBK terdengar mulia: meningkatkan literasi dan numerasi siswa Indonesia. Namun, jika dicermati lebih jauh, implementasinya justru menimbulkan problem serius. Soal-soal ANBK yang penuh dengan bacaan panjang, rumit, serta menuntut penalaran cepat, tidak jarang membuat anak-anak kehilangan rasa percaya diri. Alih-alih mendorong budaya membaca, ANBK justru mempertebal persepsi bahwa membaca adalah sesuatu yang menakutkan.
Literasi: Antara Proses dan Produk
Literasi sejatinya adalah sebuah proses bertahap, bukan produk instan. UNESCO (2017) menyebut literasi sebagai “a continuum of learning and the ability to use reading, writing and numeracy skills in varying contexts” (sebuah kesinambungan belajar dan kemampuan menggunakan keterampilan membaca, menulis, serta berhitung dalam berbagai konteks). Pernyataan ini menegaskan bahwa literasi bukan semata kemampuan menjawab soal ujian, tetapi bagian dari perjalanan panjang yang melibatkan lingkungan, kebiasaan, dan budaya belajar.
Mulyasa (2019) juga menegaskan bahwa literasi berkembang karena adanya interaksi yang menyenangkan dengan bacaan. Jika literasi dibentuk hanya melalui ujian panjang dan penuh tekanan, maka hasilnya justru kontraproduktif: siswa menjadi jenuh, takut, dan bahkan anti terhadap membaca.
Masalah Implementasi ANBK
Dalam praktiknya, ANBK lebih sering dipandang sebagai “ujian baru” dengan soal-soal panjang yang menuntut konsentrasi ekstra. Soal literasi dan numerasi tidak hanya memerlukan kemampuan membaca dan berhitung, tetapi juga menuntut daya tahan mental. Hal ini sejalan dengan kritik dari Abidin (2021) yang menyebut bahwa “asesmen yang terlalu menekankan pada aspek kognitif semata akan mengabaikan dimensi afektif dan psikomotorik anak.”
Jika tujuan ANBK adalah meningkatkan kualitas literasi, maka jalannya jelas keliru. Literasi tidak bisa dipaksa melalui ujian nasional berbasis komputer yang sifatnya sesaat. Literasi tumbuh dari cinta pada bacaan, bukan dari ketakutan menghadapi soal-soal rumit.
Solusi: Kembali ke Hulu
Ada beberapa langkah yang seharusnya ditempuh pemerintah jika benar-benar ingin meningkatkan literasi dan numerasi:
- Merevisi Kurikulum – Kurikulum jangan hanya berfokus pada evaluasi hasil, tetapi harus memberi ruang proses belajar yang menyenangkan, kreatif, dan sesuai usia perkembangan anak.
- Memperbaiki Ekosistem Literasi – Pemerintah perlu menyediakan akses buku yang berkualitas, murah, dan relevan dengan dunia anak. Tanpa bahan bacaan yang menarik, literasi hanya akan menjadi jargon.
- Penguatan Peran Guru – Guru bukan hanya pengajar, tetapi fasilitator budaya literasi. Sebagaimana ditegaskan Ki Hadjar Dewantara, “pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Guru perlu diberdayakan untuk menciptakan kegiatan literasi yang asyik, bukan sekadar drilling soal.
- Pendekatan Humanis – Literasi harus dibangun dari rasa cinta terhadap pengetahuan, bukan rasa takut. Ujian hanya seharusnya menjadi alat refleksi, bukan momok.
Penutup
ANBK dengan tujuan meningkatkan literasi dan numerasi sebenarnya merupakan gagasan yang baik. Namun, implementasinya yang menekankan soal panjang, rumit, dan kaku justru menyesatkan. Jika literasi dimaknai sebagai produk ujian, maka kita hanya akan menghasilkan generasi yang terampil mengerjakan soal, tetapi miskin rasa cinta terhadap ilmu.
Sebaliknya, jika literasi dipahami sebagai proses panjang yang bertumpu pada kebiasaan, lingkungan, dan budaya membaca, maka peningkatan mutu pendidikan akan menjadi lebih bermakna. Seperti ditegaskan Freire (1970), “literacy is not about memorizing words, but about understanding the world” (literasi bukan soal menghafal kata, tetapi memahami dunia).
Dengan demikian, ANBK perlu ditempatkan pada posisi yang tepat: sebagai sarana pemetaan, bukan penentu nasib. Pemerintah, guru, dan masyarakat harus bersama-sama menumbuhkan budaya literasi dari hulu, bukan hanya dari hilir berupa ujian. Literasi tumbuh karena cinta pada bacaan, bukan karena takut pada ujian.
Daftar Pustaka
Abidin, Y. (2021). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Ki Hadjar Dewantara. (1962). Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Mulyasa, E. (2019). Revolusi dalam Pembelajaran: Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
UNESCO. (2017). Literacy for Sustainable Development. Paris: UNESCO Publishing.