Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Aswinnews.com
Konflik antara Iran dan Israel, khususnya dalam konteks eskalasi di tengah genosida di Gaza, memunculkan beragam respons dan dilema di kalangan umat Muslim global. Peristiwa ini bukan hanya tentang geopolitik regional, melainkan juga menyentuh sentimen keagamaan, solidaritas, dan pertanyaan mendasar tentang keadilan dan ketidakberdayaan.
Bagi sebagian besar umat Muslim, konflik yang berpusat di Gaza adalah gambaran nyata dari ketidakadilan dan genosida terhadap rakyat Palestina. Dalam konteks ini, langkah Iran untuk menyerang Israel, yang diklaim sebagai pembelaan terhadap Gaza dan Palestina, disambut dengan rasa syukur oleh banyak kalangan (Wibowo, 2024: 2).
Persepsi ini muncul di tengah frustrasi kolektif umat Islam atas ketidakmampuan banyak negara Muslim untuk memberikan respons nyata terhadap penderitaan di Palestina. Iran, meskipun berlabel Syiah, dilihat oleh sebagian pihak sebagai satu-satunya aktor yang berani menantang hegemoni Israel dan sekutunya. Rasa syukur ini mencerminkan kerinduan akan kekuatan dan solidaritas umat Muslim dalam menghadapi penindasan.
Perang Iran-Israel sebagai Pemindahan Lokasi Perang?
Ada interpretasi yang melihat bahwa perang Iran-Israel bisa menjadi pengalihan dari tragedi utama di Gaza. Argumen ini menyatakan bahwa konflik langsung antara dua kekuatan regional besar ini dapat menggeser fokus perhatian dari genosida yang terjadi di Gaza ke arah dinamika perang yang lebih luas antara negara-negara.
Situasi ini mungkin menguntungkan Israel karena menggeser narasi dari pembantaian sipil ke konflik “antarnegara” yang lebih simetris di mata publik internasional. Namun, bagi sebagian umat Islam lain, tindakan Iran, terlepas dari motif tersembunyi apa pun, tetap dilihat sebagai bentuk perlawanan yang patut diapresiasi di tengah ketiadaan aksi nyata dari pihak lain.
Mencairnya Sekat Ideologis Sunni-Syiah
Salah satu dampak paling mencolok dari konflik Iran-Israel adalah potensi mencairnya sekat-sekat ideologis antara Sunni dan Syiah di mata publik (Ja’far Al Hadar, 2015: 106). Selama ini, ketegangan sektarian sering menjadi alat untuk memecah belah umat Muslim. Namun, ketika rudal-rudal Iran terbang di langit Arab menuju Israel, banyak yang mengesampingkan perbedaan madzhab dan berseru “Allahu Akbar!”
Sebagai wujud dukungan atas perlawanan terhadap penindasan di Palestina. Ini menunjukkan bahwa dalam situasi krisis yang melibatkan isu Palestina, solidaritas keumatan bisa melampaui perbedaan sektarian.
Fenomena ini kontras dengan kritik keras terhadap Syiah yang pernah dilontarkan oleh ulama besar seperti Syeikh Abdul Halim Mahmud, Grand Syaikh Al-Azhar pada era 1970-an, yang sempat mengeluarkan fatwa yang sangat kritis terhadap Syiah. Namun, pendekatan beliau sangat menarik: kritis tapi tidak provokatif.
Ia membedakan antara Syiah ekstrem (seperti Ghulat dan Ismailiyah) dan Syiah moderat (seperti Zaidiyah), serta menolak pengkafiran secara mutlak terhadap semua kelompok Syiah.
Dalam karya utamanya Al-Tafkīr al-Falsafī fī al-Islām, Mahmud mengkritik metodologi tafsir Syiah yang terlalu bergantung pada takwil batin dan otoritas Imam Maksum. Ia menilai pendekatan ini menyimpang dari makna lahiriah Al-Qur’an. Namun, ia tetap mengajak pada dialog dan rekonsiliasi intra-umat Islam, bukan konflik sektarian.
Selain beliau, ulama seperti Ibnu Taimiyah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan Imam Malik juga pernah mengeluarkan fatwa keras terhadap Syiah ekstrem, terutama yang mencaci sahabat Nabi atau meyakini tahrif Al-Qur’an. Tapi pendekatan mereka lebih tegas dan konfrontatif dibanding Mahmud yang lebih akademis dan diplomatis.
Namun, dalam konteks Gaza, tindakan Iran dianggap mewakili perjuangan yang lebih besar, membuat tudingan “Syiah sesat” menjadi kurang relevan di mata mereka yang haus akan perlawanan nyata (Maarif, 2023). Hal ini juga merefleksikan “Aman Message” (Pesan Amman) tahun 2004, yang mengupayakan pengakuan bersama terhadap delapan madzhab Islam (termasuk Syiah Ja’fari) untuk mempromosikan persatuan dan toleransi di kalangan umat Islam, meskipun seringkali sulit diterapkan di lapangan.
Negara-negara Arab sebagai Kolaborator AS dan Israel
Kritik tajam sering dialamatkan kepada negara-negara Arab lainnya yang dianggap menjadi kolaborator Amerika Serikat dan Israel. Sejarah menunjukkan adanya “aliansi berbahaya” antara Israel, Iran (sebelum revolusi Islam 1979), dan Amerika Serikat pada periode tertentu (Parsi, 2007; Farhang, 1989: 85-98; Roshandel & Chapman Lean, 2011).
Namun, setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979, Iran menjadi musuh bebuyutan Israel dan AS, sementara beberapa negara Arab justru mendekat ke kedua negara tersebut, terutama pasca-Kesepakatan Abraham. Kesepakatan Abraham (Abraham Accords) adalah serangkaian perjanjian normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab, yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan ditandatangani pertama kali pada 15 September 2020 di Gedung Putih, Washington D.C. Negara-negara yang telah menandatangani atau menyatakan niat untuk menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Kesepakatan Abraham meliputi: Uni Emirat Arab (UEA), Yordania, Bahrain, Maroko, dan Sudan.
Banyak pihak, terutama rakyat Palestina dan sebagian besar masyarakat Arab, menganggap kesepakatan ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. Sebab, perjanjian ini dilakukan tanpa syarat penghentian pendudukan Israel atas wilayah Palestina, yang selama ini menjadi syarat utama normalisasi.
Kesepakatan Abraham mencerminkan pergeseran besar dalam geopolitik Timur Tengah —dari solidaritas Arab terhadap Palestina menuju aliansi strategis melawan ancaman bersama, terutama Iran.
Dalam konteks Gaza, sikap diam atau bahkan dukungan terselubung dari sebagian negara Arab terhadap Israel dipersepsikan sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina dan solidaritas Muslim. Hal ini semakin menonjolkan Iran sebagai satu-satunya kekuatan yang berani menantang status quo, meskipun dengan risiko tinggi.
Situasi ini menciptakan polarisasi di mana Iran dipandang sebagai pembela Palestina, sementara beberapa negara Arab lain dilihat sebagai kaki tangan kekuatan asing yang merugikan kepentingan umat Islam (Simon, 2010; Hussain, 2015: 29-47; Bahgat, 2006: 363-375).
Bagaimana Sebaiknya Kaum Muslimin Menyikapi?
Menyikapi Perang Iran-Israel bagi kaum Muslimin adalah sebuah tantangan kompleks yang membutuhkan refleksi mendalam. Terlepas dari perbedaan madzhab atau politik, penderitaan di Gaza harus tetap menjadi fokus utama. Momen ini bisa menjadi peluang untuk menegaskan kembali prinsip persatuan umat (ukhuwah Islamiyah) yang melampaui sekat sektarian, sebagaimana semangat yang muncul saat rudal Iran terbang.
Penting untuk tetap kritis terhadap semua aktor, termasuk Iran, Israel, AS, dan negara-negara Arab. Dorong negara-negara Muslim untuk bertindak lebih tegas dan bersatu membela Palestina, bukan hanya secara retoris tetapi juga melalui tindakan konkret.
Umat Muslim perlu berhati-hati agar konflik Iran-Israel tidak mengalihkan perhatian dari penderitaan dan genosida di Gaza. Perjuangan untuk Palestina harus tetap menjadi prioritas utama. Solidaritas tidak hanya untuk sesama Muslim, tetapi juga untuk prinsip keadilan dan hak asasi manusia universal. Setiap bentuk penindasan, terlepas dari pelakunya, harus dikutuk dan dilawan.
Perang Iran-Israel adalah cermin dari kompleksitas geopolitik Timur Tengah dan respons beragam umat Muslim. Ini adalah panggilan untuk refleksi tentang bagaimana persatuan dapat ditemukan di tengah perbedaan, dan bagaimana perjuangan untuk keadilan dapat terus diupayakan di tengah ketidakberdayaan.
Pandangan Syekh Yusuf al-Qaradawi terhadap Syiah mengalami evolusi seiring waktu, dan mencerminkan pendekatan yang kompleks—berusaha adil secara ilmiah, namun juga responsif terhadap dinamika politik dan sosial dunia Islam. Pada dekade 1990-an hingga awal 2000-an, Syekh Qaradawi dikenal sebagai salah satu tokoh yang mendorong taqrib (pendekatan) antara Sunni dan Syiah. Ia menolak mengkafirkan Syiah secara umum, dan menyatakan bahwa Syiah Imamiyah adalah bagian dari umat Islam, meskipun memiliki perbedaan teologis yang signifikan. Dalam berbagai forum, ia menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah dan menghindari konflik sektarian.
Dalam bukunya Fatawa Mu’ashirah, Qaradawi mengkritik beberapa aspek Syiah—seperti pandangan terhadap sahabat, konsep imamah, dan metode periwayatan hadis—namun ia tetap menolak menyebut Syiah sebagai kelompok sesat secara mutlak. Ia membedakan antara Syiah ekstrem (ghuluw) dan Syiah moderat, serta menyerukan dialog berbasis ilmu, bukan kebencian. Syekh Yusuf al-Qaradawi tidak pernah menyatakan bahwa semua Syiah adalah sesat atau kafir. Ia mengkritik secara ilmiah, namun tetap menjaga prinsip la takfir (tidak mudah mengkafirkan). Sikapnya mencerminkan keseimbangan antara menjaga akidah dan merawat persatuan umat.
Bibliografi
Abdillah, Fahmi Fauzi. n.d. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penghentian Bantuan Iran Kepada Hamas Periode 2012-2016. BS thesis. Fisip UIN Jakarta.
Bahgat, Gawdat. 2006. “Israel and Iran in the new middle east.” Contemporary Security Policy 27.3: 363-375.
Farhang, Mansour. 1989. “The Iran-Israel Connection.” Arab Studies Quarterly: 85-98.
Hussain, Nazir. 2015. “US-Iran relations: Issues, challenges and prospects.” Policy Perspectives: The Journal of the Institute of Policy Studies 12.2: 29-47.
Ja’far Al Hadar, Husein. 2015. “Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi.” Pengantar Redaksi: 106.
Maarif, Ahmad Syafii. 2023. Sunni-Syiah Sebagai Belenggu Sejarah: Mengurai Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Konflik Internal Umat Islam.
Muhtarom, Ali. 2017. “Titik Temu Sunni–Syiah.” Jurnal Saintifika Islamica 2: 61-72.
Neff, Donald. 1991. “The US, Iraq, Israel, and Iran: Backdrop to War.” Journal of Palestine Studies 20.4: 23-41.
Parsi, Trita. 2007. Treacherous alliance: The secret dealings of Israel, Iran, and the United States. Yale University Press.
Roshandel, Jalil, and Nathan Chapman Lean. 2011. “Iran, Israel, and the United States.”
Simon, Steven. 2010. “Iran and Israel.” The Iran Primer: Power, Politics, and US Policy.
Wibowo, Prihandono. 2024. “Republik Islam Iran dan Permasalahan Palestina-Israel.” The Insiera Insight 1.3: 1-4.