Oleh: Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., M.M.
Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan Internasional)
Pernyataan bahwa serangan Iran ke Israel sebagai “pelepas dahaga” menggambarkan kompleksitas sekaligus polarisasi sikap umat Islam Indonesia dalam menyikapi konflik ini. Isu Iran–Israel bukanlah persoalan hitam-putih. Respons umat Islam dalam negeri terbagi—antara mereka yang memaklumi dan bahkan mendukung langkah Iran, dan mereka yang menolak atau memilih bersikap hati-hati.
Dahaga Akan Perlawanan Nyata
Di satu sisi, kelompok yang mendukung atau setidaknya memahami tindakan Iran berangkat dari alasan yang kuat secara emosional dan psikologis. Selama berbulan-bulan, umat Islam Indonesia menyaksikan penderitaan luar biasa rakyat Palestina di Gaza: pembantaian warga sipil, hancurnya rumah-rumah ibadah, dan matinya harapan di tanah terjajah.
Dalam situasi tersebut, banyak pihak berharap negara-negara Arab yang kuat secara militer—seperti Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab—mampu bersikap lebih tegas terhadap Israel. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: kecaman yang terbatas, diplomasi yang dingin, bahkan sebagian negara secara terbuka menormalisasi hubungan dengan Israel.
Dalam kekosongan perlawanan dari dunia Arab Sunni, serangan langsung Iran—terlepas dari efektivitas militernya—dianggap sebagai satu-satunya tindakan konkret melawan agresi Israel. Inilah yang dimaksud sebagai “pelepas dahaga”, semacam kelegaan psikologis karena ada satu negara Muslim yang berani membalas.
Bagi kelompok ini, penderitaan Palestina jauh lebih penting daripada perbedaan mazhab Sunni–Syiah. Musuh bersama (Israel) menuntut solidaritas sesama Muslim, bahkan lintas ideologi dan teologi. Dalam pandangan mereka, justru keengganan sebagian negara Sunni-lah yang memperkuat posisi Iran sebagai simbol perlawanan.
Mazhab Kemanusiaan vs. Mazhab Apartheid
Dalam konteks inilah, pemikiran intelektual Mesir Fahmi Huwaidi menjadi relevan. Ia menyarankan agar dunia Islam keluar dari perangkap dikotomi Sunni–Syiah. Menurutnya, konflik Palestina–Israel bukan soal mazhab, tapi soal nilai. Dengan kerangka ini, ia membagi dua kubu:
Mazhab pejuang kemanusiaan, dan
Mazhab apartheid Zionis.
Huwaidi menggeser narasi dari konflik sektarian menuju konflik nilai universal. Siapa pun yang membela rakyat tertindas—tanpa memandang agama, bangsa, atau mazhab—termasuk dalam kelompok pertama. Sementara siapa pun yang membiarkan atau membenarkan penindasan Israel tergolong ke kelompok kedua.
Kerangka ini membuat sebagian besar umat Islam Indonesia lebih mudah menerima tindakan Iran tanpa merasa bersalah terhadap identitas mazhab mereka.
Kelompok yang Skeptis dan Berhati-Hati
Namun, tidak sedikit pula umat Islam Indonesia yang memilih bersikap hati-hati, skeptis, bahkan menolak langkah militer Iran. Sikap ini umumnya diwakili oleh organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta pemerintah Indonesia sendiri.
Alasan utama mereka adalah pragmatisme dan kehati-hatian geopolitik. Mereka menilai serangan Iran bisa memicu perang skala besar yang menghancurkan kawasan dan berujung pada penderitaan lebih besar bagi rakyat Palestina sendiri. Sikap resmi Indonesia konsisten: menyerukan de-eskalasi, gencatan senjata, dan solusi diplomatik.
Sentimen anti-Syiah juga masih hidup di sebagian kalangan. Bagi kelompok ini, langkah Iran bukan murni karena solidaritas terhadap Palestina, tetapi bagian dari agenda besar memperluas pengaruh geopolitik Syiah di Timur Tengah. Palestina dalam konteks ini dianggap hanya “alat legitimasi” dalam perebutan pengaruh antara blok Sunni dan Syiah.
Jalan Tengah: Diplomasi dan Kemanusiaan
Ada pula kelompok yang menolak terlibat dalam polarisasi. Mereka mendorong pendekatan damai melalui jalur diplomatik internasional, bantuan kemanusiaan, dan solusi dua negara (two-state solution). Bagi mereka, kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru.
Kelompok ini tidak membela Iran, tapi juga tidak menormalisasi tindakan Israel. Mereka fokus pada penyelesaian jangka panjang dan mencari titik temu antar-negara serta antar-komunitas.
Kesimpulan: Umat Islam dan Tantangan Solidaritas
Respons umat Islam Indonesia terhadap konflik Iran–Israel memperlihatkan keberagaman sudut pandang yang mencerminkan kedewasaan sekaligus tantangan dalam membangun solidaritas lintas mazhab, ideologi, dan strategi perjuangan.
Apakah kita akan terus berdebat tentang siapa yang paling benar, ataukah mulai menyatukan langkah berdasarkan nilai kemanusiaan dan keadilan universal?
Pertanyaan ini akan selalu relevan selama rakyat Palestina belum merdeka, dan selama dunia Islam masih mencari bentuk terbaik solidaritasnya.
Editor: Abahroy
Redaksi: aswinnews.com
![]()
