Refleksi Hardiknas: Edu Wisata, Arah Baru Pendidikan Bermutu

Oleh: H. Sujaya, S. Pd. Gr.
( Dewan Penasehat DPP ASWIN )

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tahun hadir bukan hanya sebagai seremoni, tapi juga sebagai ajakan untuk merenungkan arah dan kualitas pendidikan kita. Tahun ini, polemik tentang pelarangan studi tour atau edu wisata kembali mencuat setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melarang kegiatan tersebut di sekolah-sekolah dengan alasan meringankan beban orang tua. Sayangnya, kebijakan ini dikeluarkan tanpa dialog dengan praktisi pendidikan atau kajian akademis yang matang. Bahkan beberapa kepala sekolah yang tetap menyelenggarakannya mendapat sanksi, tanpa adanya gugatan atau upaya hukum yang berarti dari pihak yang dirugikan.

Sebagian pihak mungkin setuju dengan larangan itu. Biaya studi tour memang tidak murah, dan seringkali muncul kasus di mana orang tua merasa terbebani atau siswa merasa terpaksa ikut hanya karena tekanan lingkungan. Ini menjadi evaluasi penting: studi tour jangan sampai hanya menjadi ajang rekreasi mahal tanpa nilai pendidikan yang jelas.

Namun, menutup mata terhadap potensi besar edu wisata sebagai sarana pembelajaran juga merupakan langkah keliru. Edu wisata bukan hanya sekadar bepergian. Siswa bisa belajar langsung dari kehidupan nyata—mengunjungi sentra industri kecil, museum sejarah, lokasi budaya, hingga sekolah rujukan. Pengalaman seperti ini tidak tergantikan oleh pelajaran di kelas. Bahkan, keterampilan sosial, kerja sama tim, hingga empati dan wawasan kebangsaan seringkali tumbuh dari kegiatan luar ruang seperti ini.

Pelarangan secara sepihak, apalagi dengan sanksi administratif, bisa mencederai semangat demokrasi dan prinsip negara hukum. Pendidikan yang baik justru harus membuka ruang diskusi dan melibatkan semua pihak, termasuk guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa.

Karena itu, solusi yang bijak bukanlah melarang total, melainkan mengatur. Studi tour seharusnya dilakukan secara terbuka, sukarela, dan dengan biaya yang wajar. Tujuan kegiatan harus memiliki nilai edukatif yang jelas, serta dilakukan dengan pengawasan ketat, termasuk jaminan transportasi yang aman dan nyaman.

Refleksi Hardiknas kali ini harus menjadi titik balik. Mari jadikan edu wisata sebagai bagian dari upaya menghadirkan pendidikan yang kontekstual, menyenangkan, dan bermutu. Pendidikan tidak selalu harus di kelas. Kadang, pelajaran terbaik datang dari perjalanan yang bermakna.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *