Artikel/Opini

Film Layar Lebar : Yogya Rindu Rindu Cinta Dalam Satu Tarikan Napas,Karya Agung Marsudi

Film Layar Lebar : Yogya Rindu Rindu Cinta Dalam Satu Tarikan Napas Karya Agung Marsudi


Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas


Seperti Kemolekan Merapi Sebelum Idul Fitri yang ditulis Agung Marsudi ketika meresume hasil observasi lapangan untuk pembuatan film layar lebar berjudul “Yogya, Rindu, Cinta” suasana romantisme terasa langsung menggulung masa silam semasa di Yogyakarta pada masa sebelum tahun 1980 hingga tahun 2000 yang penuh kerak nostalgia yang acap hendak dibuang tapi sayang karena terlanjur asyik untuk dikenang sampai hari ini yang kembali terungkit dari hentakan judul film yang hendak dibuat Agung Marsudi yang nyaris membatalkan puasa yang sudah mulus dan penuh keindahan dinikmati sejak awal hingga menjelang ramadhan berakhir.

Apalagi kemudian dia sodorkan dua penggalan short film penuh ilustrasi musik yang sangat awam di indra pendengaran, namun sungguh menggoda dan usil mengusik selera seni yang sempat bersemi.

Ide setengah gila membuat film layar lebar untuk konsumsi masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur ditelan oleh selera Drama Korea — terutama di musim paceklik sekarang ini yang dikatakan para ahli dalam berbagai dimensi — sungguh menakjubkan, karena tak mungkin diharap mendatangkan duit. Artinya, orientasinya dari produk film layar lebar itu semata-mata gairah dari semangat idealisme untuk karya seni belaka.

Padahal, di jaman yang serba berpacu dengan materialistik sekarang ini, ide semacam itu lebih dominan dianggap naib. Apalagi hendak diharap berkelanjutan sambil menggeser selera bohemian yang sudah berakar tunggang dan berakar serabut sekaligus di negeri kita ini.

Jadi sekedar untuk mengukur sejarah bahwa perlawan budaya masih tetap hidup dalam dunia sineas kita, perlu juga diacungkan jempol. Sebab kalah boleh saja terjadi, tapi perlawanan harus tetap dilakukan, sebab telat seperti itu kata banyak orang adalah bagian dari keimanan tak luntur diterpa oleh panas dan hujan seperti “Yogya, Rindu dan Cinta” yang pepak dan sarat nilai-nilai spiritualitasnya ketika dapat dijadikan bahan renungan di penghujung puasa bulan ramadan yang sangat indah ketika dinikmati dengan sepenuh hati. Meski deraan ekonomi tak mungkin dipungkiri.

Saya kira, gagasan untuk membuat film layar lebar dengan mengekplorasi tiga kata sifat dengan latar Gunung Merapi yang penuh nostalgia bersama almarhum Mbah Marijan semasa mahasiswa dulu itu dapat juga mengungkap mitos tentang Desa Pakem yang cukup dominan dihuni oleh seniman dari berbagai profesi di Kota Budaya Yogyakarta yang telah melahirkan banyak karya mulai dari puisi hingga seni lukis serta naskah drama yang pernah mewarnai khazanah budaya di tanah air. Nilai historis kawasan wisata Kaliurang pun tak kalah historikal dengan Pesantren Krapyak yang ada di bagian selatan kota Ngayogyakarta Hadiningrat yang pernah menjadi pusat perlawanan dan pemerintahan pada masa paska kemerdekaan dulu. Karenanya, tampilan Istana di Yogyakarta membuktikan bahwa dari keberadaan Keraton Yogyakarta tidak fanatisme untuk mengukuhkan diri dan sosoknya yang feodalistik. Karena itu wajar Yogyakarta disebut satu-satu daerah istimewa yang otentik dengan keberadaan Sultan yang secara senang dan gembira untuk menuntun dan menjaga warga masyarakat setempat penuh kenyamanan dan ketenteraman tanpa pernah menimbulkan kegaduhan politik. Dan sebagai kota pelajar, Yogyakarta tetap pantas dan layak menyandang gelar bergengsi itu. Begitulah agaknya bila judul “Yogya, Rinda, Cinta” bisa dilafalkan dalam satu tarikan nafas yang tak terpisah. Tidak terputus, tidak terpenggal seperti anggaran proyek pemerintah yang selalu mengatasnamakan demi dan untuk rakyat.


Banten, 30 Maret 2025


*Catatan kaki :*
Paparan ini semacam abstraksi dari sublimasi hadiah lebaran Idul Fitri yang bisa dianggap lebih sakral dan bernilai spiritual dalam peradaban yang tengah mencari bentuknya di abad modern sekarang ini.

Nuryaji

Recent Posts

Surjan: More Than Just Traditional Clothing,Syimbol of the Philosophy of the Pillar of Faith and Islam in Yogyakarta

Surjan: More Than Just Traditional Clothing, Symbol of the Philosophy of the Pillars of Faith…

2 jam ago

Surjan: Lebih Dari Sekedar Pakaian Adat,Simbol Filosofi Rukum Iman Dan Islam Di Yogyakarata

Surjan: Lebih Fari Sekadar Pakaian Adat, Simbol Filosofi Rukun Iman Dan Islam Di YogyakartaOleh :…

3 jam ago

Kekuasaan Dan Kekayaan Untuk Mengkapling Surga Milik Orang Lain

Kekuasaan Dan Kekayaan Untuk Mengkapling Surga Milik Orang LainOleh : Jacob EresteWartawan LepasBirahi pencitraan itu…

4 jam ago

Politics to Realize Common Good with ‘Aristotle’s Classical Theory’

Politics to Realize Common Good with 'Aristotle's Classical Theory'By: Abdul AzisHead of Alkausar IndramayuSeeing Indramayu…

8 jam ago

Politik Untuk Kebaikan Bersama Dengan ‘Teori Klasik Aristoteles’

Politik Untuk Wujudkan Kebaikan Bersama Dengan 'Teori Klasik Aristoteles'Oleh : Abdul AzisKetua Al Kausar IndramayuMelihat…

8 jam ago

Sebagai Mata Air Spiritualitas Organisasi Keagamaan Juga Memiliki Kekuatan Ekonomi Yang Maha Dahsyat

Sebagai Mata Air Spiritualitas Organisasi Keagamaan Juga Memiliki Kekuatan Ekonomi Yang Maha DahsyatOleh : Jacob…

9 jam ago