Spiritualitas Melintasi Dari Wilayah Agama Memasuki Wilayah Budaya


Spiritualitas Melintasi Dari Wilayah Agama Memasuki Wilayah Budaya

Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas


Memisahkan agama dan budaya nyaris identik dengan upaya memilah sneaker emas dan suasa. Keduanya kerap menyatu dalam pengetahuan dan pemahaman yang perlu diusut dalam rentang sejarah bahkan filsafat. Itulah sebabnya dalam Islam banyak yang keliru mengidentikkan peci itu seperti identitas dari agama. Padahal, karena para pemakai peci itu semerta-merta dominan dikenakan oleh umat Islam.

Ketika melaksanakan sholat wajib di suatu daerah pelosok Indonesia, ada semacam kewajiban untuk memakai sarung ketika merasa berada di rumah sendiri. Usut punya usut, ternyata sikap yang mewajibkan untuk memakai sarung itu ketika melaksanakan sholat telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat yang ditempelkan pada ritual keagamaan.

Agaknya, karena itu dahulu Presiden Soekarno pernah berpesan bahwa orang Islam di Indonesia tidak perlu mengupayakan dirinya menjadi orang Arab, meski Islam itu sendiri berasal dari Arab. Artinya, agama itu tidak identik dengan budaya. Kendati agama dapat menjadi bagian dari budaya, meski begitu tidak lantas berarti agama lebih rendah dari budaya. Bahkan budaya sendiri lebih dominan diasuh oleh agama.

Pada ketika yang lain pun, acap budaya agak lebih dominan dari agama. Sehingga beragam khas bawaan dari agama justru dominan dipimpin oleh budaya. Mulai dari langgam melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an jadi tenggelam dalam gaya dan nada ucap daerah setempat. Tak hanya di jazirah Arab saja lantunan nada dan warna nafasnya yang khas berbeda dari yang ada di daerah lain, tapi saat melakukannya pun sudah dibedakan pula oleh waktu.

Dalam tradisi dan budaya — secara umum di Indonesia — wajar muncul beragam aliran atau tarekat yang pada intinya tidak perlu dipersoalkan. Sebab yang penting adalah hakikat dari tuntunan dan ajaran agama itu sendiri yang terbaik patut ditaati dan diamalkan demi dan untuk kemaslahatan umat agar hidup selaras dan harmoni hingga guyub dan rukun bersama masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Begitulah nilai-nilai budaya lokal berperan dan ambil bagian dalam perkembangan agama seperti sambutan budaya setempat; dimana bumi dipijak, disitu pula langit dijunjung. Arti simbolik dari pepatah ini tetap mengedepankan nilai-nilai dari langit yang lebih sakral serta penuh muatan spiritual yang tidak terbatas.

Demikian pula dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan serta teknologi yang ditandai hadirnya model artificial intelligence yang patut diterima dengan sikap kritis dan kehati-hatian agar tidak sampai menggerus keimanan serta akhlak mulia kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi. Artinya, dengan pemahaman dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, harus dapat dipertahankan nilai-nilai ilahiah yang luhur ini agar tidak terdegradasi sedikitpun, karena sepatutnya bisa terus ditingkatkan lewat berbagai cara seperti yang umumnya dilakoni oleh para spiritualis sejati di negeri ini.



Banten, 16 Februari 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *