Penulis,Abahroy
Tradisi obrog-obrog, yang dulunya menjadi bagian dari semarak Ramadan, kini semakin memudar dan mengalami perubahan makna.
Dahulu, kelompok pemuda berkeliling kampung dengan alat musik sederhana diantaranya Genjring Santri dan di imbuhi bedug , membangunkan warga sahur. Tradisi ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga simbol kebersamaan dan gotong royong.
Sayangnya, esensi dari obrog-obrog mulai terkikis.
Kini, yang lebih sering terlihat bukan lagi kelompok yang membangunkan sahur dengan semangat kebersamaan, tetapi sekelompok orang yang keliling di siang hari untuk meminta sedekah. Perubahan ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah tradisi ini masih relevan, atau sudah bergeser ke arah yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Ramadan?
Perubahan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah modernisasi dan teknologi.
Dengan adanya alarm dan aplikasi pengingat sahur, fungsi obrog-obrog sebagai alarm alami sudah tidak lagi dibutuhkan.
Selain itu, faktor ekonomi juga berperan besar.
Beberapa orang melihat momen Ramadan sebagai kesempatan untuk meminta bantuan finansial dengan dalih melestarikan tradisi.
Namun, apakah ini benar-benar bentuk pelestarian, atau justru eksploitasi atas kebiasaan lama?
Jika tujuan awalnya adalah membangkitkan semangat kebersamaan, maka meminta sedekah di siang hari dengan dalih obrog-obrog jelas menyimpang dari maksud aslinya.
Tradisi seharusnya tetap hidup dengan esensi yang sama, bukan hanya dipertahankan dalam bentuk luar tanpa makna yang sebenarnya.
Maka, jika kita ingin obrog-obrog tetap menjadi bagian dari budaya Ramadan, kita perlu mengembalikan nilai-nilai aslinya.
Misalnya, dengan menjadikan obrog sebagai ajang syiar Islam, bukan sekadar aktivitas yang bergeser menjadi alat mencari keuntungan pribadi.
Tradisi ini harus tetap menjadi cermin kebersamaan, bukan hanya ritual kosong yang kehilangan maknanya.
Cirebon,15/03/2025
—