Presiden Prabowo Dan Tantangan Menghadapi Pejabat Hedonis : Mampukah Reformasi Berjalan ?

Presiden Prabowo Dan Tantangan Menghadapi Pejabat Hedonis: Mampukah Reformasi Berjalan?


Oleh : Abah Roy
Ketua DPC ASWIN Cirebon


Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan berbagai kebijakan ambisius yang bertujuan mengubah wajah pemerintahan Indonesia. Program makan bergizi gratis, penghentian impor bahan pangan, serta kebijakan penghematan anggaran menjadi langkah awal yang diambilnya untuk menciptakan pemerintahan yang lebih mandiri, efisien, dan berpihak pada rakyat.

Namun, dalam menjalankan perubahan sebesar ini, tantangan terbesar bukan hanya soal anggaran atau teknis implementasi, tetapi juga mentalitas para pejabat yang menjalankan kebijakan itu sendiri. Reformasi yang diusung Prabowo akan sulit berhasil jika para pejabatnya masih terjebak dalam pola pikir hedonisme, oportunisme, dan keserakahan—tiga penyakit lama yang telah mengakar dalam birokrasi Indonesia selama bertahun-tahun.

Mentalitas Pejabat: Antara Jabatan dan Kesempatan Menguntungkan

Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar pejabat melihat jabatan sebagai kesempatan untuk memperkaya diri. Budaya “aji mumpung”, di mana seorang pejabat menggunakan kekuasaannya untuk mengamankan kepentingan pribadi sebelum masa jabatannya berakhir, masih sangat kuat di kalangan birokrat. Selama mentalitas ini masih bercokol, kebijakan sehebat apa pun berisiko hanya menjadi formalitas yang tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Contohnya, kebijakan penghematan anggaran yang digagas Prabowo. Jika diterapkan dengan benar, ini bisa menjadi langkah baik untuk mengefisienkan birokrasi dan mengurangi pemborosan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan semacam ini sering kali dimanipulasi oleh pejabat yang mencari celah untuk tetap mempertahankan gaya hidup mewah mereka. Mereka bisa saja memangkas anggaran yang seharusnya digunakan untuk rakyat, tetapi tetap mempertahankan fasilitas pribadi mereka dengan berbagai alasan yang dibuat-buat.

Lebih parah lagi, ketika pejabat yang mengelola anggaran justru memiliki mentalitas tamak dan serakah. Pemangkasan biaya perjalanan dinas, misalnya, bisa menjadi alat bagi mereka untuk menekan bawahan, tetapi tetap memberikan keuntungan bagi kelompok mereka sendiri. Jika tidak ada sistem pengawasan yang ketat, kebijakan penghematan ini bisa berubah menjadi senjata baru untuk kepentingan segelintir elite, bukan untuk kepentingan rakyat banyak.

Kebijakan Besar, Tantangan Lebih Besar

Selain penghematan anggaran, kebijakan Prabowo yang paling ambisius adalah program makan bergizi gratis dan penghentian impor bahan pangan. Secara konsep, kebijakan ini sangat visioner dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, pertanyaannya: Apakah birokrasi kita cukup bersih dan efisien untuk menjalankan kebijakan sebesar ini?

Program makan bergizi gratis memerlukan pengelolaan anggaran yang transparan, distribusi yang merata, serta eksekusi yang efektif di lapangan. Jika pengawasan tidak ketat, bukan tidak mungkin dana yang dialokasikan untuk program ini malah bocor ke kantong-kantong pejabat yang ingin mengambil keuntungan pribadi. Kasus-kasus korupsi dalam program bantuan sosial di masa lalu adalah bukti bahwa niat baik pemerintah sering kali dimanfaatkan oleh pejabat yang tidak bertanggung jawab.

Sementara itu, kebijakan penghentian impor bahan pangan seperti beras, garam, dan gula pada 2025 juga menghadapi tantangan besar. Apakah sektor pertanian dalam negeri siap memenuhi kebutuhan nasional? Jika tidak, kebijakan ini bisa menimbulkan kenaikan harga yang justru membebani masyarakat kecil. Jika tidak ada kesiapan dari hulu ke hilir, kebijakan ini bisa berujung pada kelangkaan pangan dan menciptakan krisis baru.

Lebih dari itu, keputusan Prabowo untuk menunjuk seorang jenderal aktif sebagai kepala Bulog menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kembalinya peran militer dalam urusan sipil adalah solusi yang tepat? Langkah ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, di mana militer memiliki kendali besar dalam berbagai aspek pemerintahan. Jika tidak dikelola dengan transparan dan profesional, kebijakan ini bisa berisiko menciptakan birokrasi yang semakin tertutup dan sulit dikontrol oleh masyarakat sipil.

Bisakah Prabowo Mengubah Sistem yang Sudah Lama Bobrok?

Reformasi yang dicanangkan Prabowo membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan yang bagus di atas kertas. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana memastikan kebijakan tersebut dijalankan dengan benar tanpa dikorupsi oleh para pejabat yang masih terjebak dalam mentalitas lama.

Ada dua faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan reformasi ini:

1. Ketegasan dalam penegakan aturan
Jika Prabowo ingin kebijakan-kebijakannya berhasil, tidak boleh ada kompromi dalam menindak pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan. Hanya dengan sanksi yang tegas dan nyata, mentalitas birokrasi bisa mulai berubah. Jika pejabat merasa kebijakan ini bisa “dimainkan” tanpa konsekuensi, maka mereka akan terus mencari celah untuk mempertahankan privilese mereka.

2. Penguatan sistem pengawasan dan transparansi
Setiap kebijakan besar harus diawasi dengan ketat, baik oleh lembaga independen maupun masyarakat. Jika sistem pengawasan lemah, maka penyimpangan akan terus terjadi. Prabowo perlu memastikan bahwa masyarakat bisa ikut mengontrol jalannya kebijakan ini, misalnya dengan membuka akses data anggaran secara transparan agar publik bisa melihat ke mana uang negara benar-benar digunakan.

Kesimpulan: Reformasi atau Ilusi?

Prabowo telah menunjukkan tekad besar untuk mengubah Indonesia. Namun, keberhasilan reformasi ini tidak hanya bergantung pada kebijakan yang dibuatnya, tetapi juga pada kesiapan pejabat yang menjalankannya. Jika mentalitas birokrasi tidak berubah, maka reformasi ini hanya akan menjadi ilusi belaka—sebuah mimpi yang terdengar indah, tetapi tidak pernah benar-benar terjadi.

Kini, pertanyaannya adalah: Apakah Prabowo dan timnya cukup berani untuk membersihkan sistem dari pejabat-pejabat tamak dan hedonis? Ataukah kita akan kembali melihat reformasi yang setengah hati, di mana kebijakan hanya menjadi slogan, sementara birokrasi tetap berjalan dengan pola lama yang penuh penyimpangan?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan Indonesia dalam lima tahun ke depan.


Cirebon,15 Februari 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *