Sekolah Toksis: Ketika Rendahnya EQ Kepala Sekolah Menghancurkan Lingkungan Kerja

Oleh: Sujaya, S. Pd., Gr.
Dewan Penasihat Asosiasi Wartawan Internasional (ASWIN)
Editor: Abahroy | Redaksi Aswinnews.com

Kepemimpinan kepala sekolah memainkan peran sentral dalam membentuk iklim sekolah yang sehat, produktif, dan bermartabat. Namun, dalam sebuah studi kasus yang terjadi di salah satu SMP negeri di Kecamatan L, Kabupaten Indramayu, terlihat jelas bagaimana rendahnya kecerdasan emosional (EQ) seorang pemimpin sekolah dapat merusak ekosistem pendidikan dari dalam.

Ketika seorang kepala sekolah tidak mampu mengenali, memahami, dan mengelola emosi dirinya serta orang lain, yang muncul bukan lagi kepemimpinan, melainkan dominasi. Akibatnya: relasi antarguru retak, semangat kerja hancur, dan kualitas pendidikan merosot.


Kurangnya Empati dan Dukungan Emosional

Pemimpin dengan EQ rendah umumnya menunjukkan empati yang dangkal. Ia tidak mampu merasakan beban emosional yang dialami guru, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional. Dalam kasus yang kami soroti, seorang guru yang tengah menghadapi masalah keluarga malah dimanfaatkan kelemahannya untuk tujuan manipulatif. Ini bukan hanya tidak etis secara moral, tetapi juga mencerminkan kegagalan total dalam membangun relasi kemanusiaan di lingkungan sekolah.


Komunikasi yang Tertutup dan Sepihak

Kepala sekolah dengan EQ rendah cenderung menghindari dialog terbuka. Keputusan diambil secara sepihak tanpa melibatkan guru sebagai mitra profesional. Misalnya, kebijakan mendadak tentang jadwal atau program kerja kerap muncul tanpa sosialisasi. Akibatnya, muncul kebingungan, frustrasi, dan hilangnya kepercayaan terhadap manajemen sekolah.


Motivasi Guru yang Tergerus

Minimnya pengakuan dan apresiasi adalah gejala klasik dari kepemimpinan toksik. Guru-guru yang bekerja keras dan berprestasi tak pernah mendapat sorotan, sementara mereka yang “loyal” secara politik malah diberikan ruang strategis. Ini menyebabkan guru potensial menjadi apatis, bahkan mempertimbangkan untuk hengkang dari sekolah.


Lingkungan Kerja yang Mengintimidasi

Ketika tekanan emosional dibiarkan tanpa pengelolaan, sekolah berubah menjadi medan penuh kecemasan. Gaya komunikasi yang kasar, intimidasi halus, dan ancaman terselubung menjadikan guru merasa tidak aman secara psikologis. Ruang guru bukan lagi tempat berbagi ide, tetapi ruang hening yang penuh ketakutan. Budaya diam pun berkembang.


Ketidakadilan dalam Pengambilan Keputusan

EQ yang rendah juga mendorong gaya kepemimpinan otoriter. Guru senior yang kompeten bisa saja dimutasi tanpa alasan jelas. Sebaliknya, guru yang kurang kapabel tetapi “mudah dikendalikan” justru ditempatkan pada posisi strategis. Ketidakadilan ini memperburuk moral kolektif dan melemahkan solidaritas tim.


Tingginya Turnover Guru

Dalam jangka panjang, lingkungan toksik akan mendorong guru-guru terbaik pergi. Perputaran tenaga pendidik pun tinggi, dan ini jelas mengganggu kesinambungan proses belajar-mengajar. Sementara itu, sekolah terus-menerus kehilangan SDM yang sesungguhnya menjadi tulang punggung perubahan.


EQ adalah Kebutuhan Mutlak bagi Kepala Sekolah

Sebagaimana diungkapkan oleh Daniel Goleman (1998), kecerdasan emosional mencakup kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri dan orang lain—sebuah kompetensi yang wajib dimiliki oleh setiap pemimpin. Tanpa EQ, kepala sekolah bukan hanya gagal memimpin secara efektif, tapi juga berpotensi menghancurkan struktur sosial dan profesional sekolah.


Penutup

Kasus di Indramayu ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi sistem pendidikan kita. Sudah saatnya proses seleksi dan pelatihan kepala sekolah di Indonesia meletakkan EQ sebagai salah satu indikator utama. Tanpa itu, sekolah tidak akan pernah menjadi ruang aman bagi tumbuhnya ilmu, budi pekerti, maupun profesionalisme guru.


Referensi:

Goleman, D. (1998). Working with Emotional Intelligence. Bantam Books.

Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence. Bantam Books.

Day, D. V. (2000). Leadership development: A review in context. Leadership & Organization Development Journal, 21(3), 117–129.

Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Weber, T. J. (2009). Leadership: Current theories, research, and future directions. Annual Review of Psychology, 60, 421–449.

Yukl, G. (2012). Leadership in Organizations. Pearson Education.

Indramayu, 21 Juni 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *