Cross-Cultural Education: Membangun Toleransi dan Empati di Dunia Pendidikan

Oleh: Dr. Hardika Prayudi Styawan, M.Pd., M.M.
Inisiator Himpunan Pendidik dan Pengajar Muda Indonesia (HIPPMI)

Bayangkan suasana ruang kelas atau kampus tempat berbagai latar belakang budaya bertemu: ada yang datang dari desa dengan adat kuat, ada pula yang lahir dan tumbuh di tengah keragaman kota besar. Masing-masing membawa cara pandang, nilai hidup, dan kebiasaannya sendiri. Di sinilah dunia pendidikan hari ini berdiri, penuh warna, dinamis, sekaligus menantang. Pertanyaannya, apakah kita sudah cukup siap untuk hidup dan belajar di tengah keberagaman ini?

Keberagaman budaya bukan sekadar tampak dari pakaian atau logat bicara. Ia tercermin dalam cara berpikir, gaya belajar, hingga bagaimana seseorang menyikapi perbedaan atau menyelesaikan konflik. Jika tidak ada ruang untuk saling memahami, perbedaan ini bisa memicu kesalahpahaman dan bahkan gesekan sosial. Di sinilah pentingnya pendidikan lintas budaya (cross-cultural education), sebuah pendekatan yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk sikap toleran dan empatik.

James A. Banks (2006), tokoh terkemuka dalam bidang pendidikan multikultural, menekankan bahwa sistem pendidikan perlu secara sadar mengintegrasikan perspektif budaya yang beragam dalam kurikulum, metode pengajaran, dan pola interaksi. Tujuannya bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk membangun penghargaan terhadap keberagaman sebagai kekayaan bersama. Dalam konteks ini, toleransi tidak cukup jika hanya berhenti pada sikap “asal tidak mengganggu”, namun perlu ditumbuhkan hingga menjadi penghargaan yang tulus atas nilai yang berbeda.

Sikap empati menjadi pelengkap penting dari toleransi. Daniel Goleman (2006), melalui kerangka Social Intelligence , menyebut empati sebagai bagian dari kecerdasan sosial, yakni kemampuan untuk memahami dan merasakan sudut pandang orang lain. Tanpa empati, toleransi hanya bersifat formal dan rapuh. Namun ketika empati dibangun dengan baik, maka perbedaan bisa menjadi jembatan untuk saling menguatkan. Penelitian oleh Chiu, Mallorie, dan Hong (2013) dalam Journal of Cross-Cultural Psychology menunjukkan bahwa individu yang memiliki pengalaman lintas budaya cenderung memiliki empati dan fleksibilitas sosial yang lebih tinggi, yang memudahkan mereka menjalin hubungan harmonis dalam lingkungan yang beragam.

Dalam konteks ini, peran pendidik sangatlah krusial. Geneva Gay (2010), penggagas Culturally Responsive Teaching, menekankan bahwa guru dan dosen harus memahami latar belakang budaya siswa dan mampu menyesuaikan pendekatan pengajarannya. Ini bisa dilakukan dengan menyusun materi yang relevan dengan pengalaman peserta didik, menggunakan bahasa yang inklusif, dan menciptakan suasana belajar yang aman dan menghargai keberagaman. Ketika pendidik mampu menjadi fasilitator yang peka budaya, maka ruang belajar akan menjadi tempat tumbuhnya sikap terbuka dan saling menghargai.

Dengan demikian, pendidikan lintas budaya bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan. Di era global yang mempertemukan individu dari berbagai penjuru, generasi muda perlu dibekali tidak hanya dengan kemampuan akademik, tetapi juga kecerdasan sosial dan budaya. Pendidikan yang mengedepankan nilai toleransi dan empati akan membentuk pribadi-pribadi yang mampu menjadi agen perdamaian di tengah masyarakat majemuk.

Sebagai bagian dari komitmen membangun ruang pendidikan yang inklusif dan berkeadaban, kami mengundang Anda untuk bergabung bersama Himpunan Pendidik dan Pengajar Muda Indonesia (HIPPMI) untuk bersama-sama memperkuat peran pendidikan sebagai jembatan pemersatu di tengah keberagaman.

Salam Pejuang Pendidikan
“Mendidik untuk Negeri, Berkarya untuk Bangsa”

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *