Menyatukan Wasiat Sunan Gunung Jati Dan Gagasan Prabowo: Dari Tajug hingga Meja Makan Rakyat

Menyatukan Wasiat Sunan Gunung Jati Dan Gagasan Prabowo: Dari Tajug hingga Meja Makan Rakyat

Penulis,AbahRoy


Di tengah tantangan zaman yang kompleks, bangsa Indonesia memerlukan panduan nilai yang tidak hanya membumi, tetapi juga berakar kuat dalam kearifan lokal dan spiritual.

Salah satu wasiat abadi yang terus menggema adalah pesan dari Sunan Gunung Jati: “Kula titip tajug lan fakir miskin.”


Wasiat sederhana, namun sarat makna.

Sunan Gunung Jati, sebagai bagian dari Wali Songo, menyadari bahwa kekuatan umat Islam tidak hanya terletak pada ibadah individual, tetapi juga pada solidaritas sosial. Tajug (masjid) menjadi simbol peradaban, tempat umat dibimbing dalam akhlak dan ilmu. Sementara fakir miskin adalah amanah sosial yang tak boleh diabaikan.

Keduanya adalah pilar keberadaban masyarakat Islam: spiritualitas dan kemanusiaan.

Di era modern, pesan serupa muncul dari tokoh nasional, Prabowo Subianto, yang dengan lantang menyatakan:

“Jangan sampai ada rakyat Indonesia yang tidak bisa makan.”

Pernyataan itu bukan sekadar janji kampanye. Ia adalah refleksi dari semangat yang sama: tak boleh ada satu pun anak bangsa yang tertinggal, apalagi kelaparan.

Di tengah kemajuan ekonomi dan teknologi, kenyataan bahwa masih ada rakyat yang sulit mengakses pangan adalah ironi besar yang harus segera diakhiri.

Dari sini, kita melihat satu benang merah: kepemimpinan sejati adalah yang berpihak pada yang lemah.

Jika dulu para wali membangun masjid sebagai pusat dakwah dan pemberdayaan, maka sekarang masjid juga harus menjelma menjadi pusat kepedulian sosial.

Masjid yang aktif memberi makan dhuafa, membina UMKM, mendampingi yatim, itulah implementasi nyata dari pesan “titip tajug lan fakir miskin”.

Begitu pula, jika cita-cita Prabowo ingin terwujud, maka negara harus hadir lebih kuat dalam memastikan distribusi pangan yang adil, pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, dan perlindungan sosial yang menyeluruh.

Tak cukup dengan bantuan instan—dibutuhkan transformasi sistemik yang berpihak pada wong cilik.

Wasiat wali dan visi pemimpin hari ini seharusnya tidak berjalan terpisah.

Keduanya bisa menyatu dalam satu gerakan besar: menjadikan Indonesia yang religius, adil, dan sejahtera.

Karena pada akhirnya, keberhasilan sebuah bangsa bukan diukur dari seberapa tinggi gedung yang dibangun, tapi dari berapa banyak rakyatnya yang bisa sujud di masjid dan makan dengan layak di rumahnya

Kota Cirebon,10/04/2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *