Revisi UU Polri Justru Akan Mempersempit Ruang Publik
Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas
Pembahasan revisi UU Polri — seperti revisi UU TNI yang justru semakin santer dan banter menjadi sorotan dan tanggapan dari warga masyarakat — benar DPR RI sungguh terkesan seperti oplet yang mengejar setoran. Proses pembahasan Revisi UU Polri terkesan terburu,-buru juga dan mengabaikan secara total partisipasi publik, seperti diungkap dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian yang beredar luas dalam pembahasan masyarakat.
Memang kabar yang santer tentang rencana pembahasan RUU Polri memang menjadi perhatian berbagai kalangan seusai DPR RI mensahkan UU TNI yang diawali di sebuah hotel mewah secara tertutup, tanpa melibatkan warga masyarakat untuk ikut memberikan pandangan serta masukan yang dianggap perlu agar tidak menimbulkan masalah ketika diimplementasikan prakteknya di lapangan. Toh, pada prinsipnya UU TNI itu bisa disahkan tanpa menimbulkan masalah, utamanya dalam hal materi pembahasan. Namun yang menjadi soal adalah proses pelaksanaan pembahasan yang dilakukan DPR RI justru bertentangan dengan program pemerintah untuk melakukan efisiensi dan penghematan dana. Kecuali itu adalah tidak transparan dalam teknis dalam pembahasannya yang mengabaikan peran serta masyarakat.
Suara yang mulai marak diteriakkan tentang rencana pembahasan RUU Polri terlanjur membuat warga masyarakat tidak percaya akan dilakukan secara baik dan benar dengan sosialisasi lebih awal hingga dilaksanakan secara terbuka untuk mendapat masukan serta usulan yang sepatutnya dilakukan bersama masyarakat. Pernyataan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan perlu meyakinkan bahwa pembahasan revisi UU Polri memberi jaminan akan dilakukan secara terbuka kepada awak media di Komplek Parlemen Senayan, 24 Maret 2025. Padahal, memang begitulah seharus mekanisme pembahasan revisi UU dilakukan dan harus terbuka untuk memperoleh masukan dan usulan serta perbaikan dari masyarakat agar tidak menimbulkan masalah dan membuat kerugian warga masyarakat.
Sebab menurut berbagai sumber serta kajian Atlantika Institut Nusantara, revisi UU Polri memberi peluang untuk membrangus kebebasan berpendapat dan berekspresi hingga hak memperoleh informasi serta hak stiap warga negara Indonesia atas privasi utamanya bagi media sosial dan digital. Karena Polri akan diberi kebebasan untuk melakukan berbagai cara pengamanan dan pengawasan terhadap ruang siber berikut penindakan, pemblokiran atau pemutusan dan memperlambat akses ruang siber, seperti tertuang dalam pasal 16 ayat 1 huruf (g) dari RUU Polri tersebut.
Tindakan untuk memperlambat atau memutus akses internet itu dapat merujuk pada kejadian pada tahun 2019 di Papua Barat, hingga menurut Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Akibatnya, tentu saja wewenang Polri yang berlebihan ini akan mempersempit ruang siber dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi publik maupun pekerja pers online yang berbasis internet.
Banten, 27 Maret 2025
—