Tradisi Mudik Produk Budaya Masyarakat Urban
Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas
Tradisi mudik pada hari raya keagamaan, merupakan produk budaya masyarakat urban dari suatu desa atau daerah ke daerah lain atau yang umumnya berada di kota besar untuk menjenguk keluarga dan sanak familinya yang masih setia menunggu kampung halaman atau tempat berkumpul awal dari keluarga besar sebelumnya di tempat tersebut.
Fenomena urbanisasi ini — masyarakat desa atau daerah yang umumnya bermukim di kota–kota besar, tidak hanya menandai banyaknya warga desa atau masyarakat daerah yang meninggalkan desa atau daerahnya untuk mencari nafkah di kota, tetapi juga menandai tiadanya pekerjaan di desa atau di daerah yang tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya atau bersama keluarganya yang ikut serta pindah ke kota. Meski kondisi ekonomi dari pekerjaan yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan untuk dirinya maupun bersama keluarga, tidak juga dapat memenuhi hasrat yang diidealkan.
Namun peluang kerja secara serabutan memberi banyak peluang untuk dilakukan, tidak seperti yang dapat diperoleh di desa atau daerah yang terpaksa ditinggalkan itu.
Dari sisi yang lain, memang jelas di desa atau daerah asal yang bersangkutan tidak memberi banyak peluang untuk dijadikan tumpuan hidup, sehingga pilihan terbaik adalah melakukan urbanisasi yang berujung merananya desa atau daerah asal sang urbanisasi semakin mengukuhkan kondisi kemiskinan, lantaran tidak sedikit sumber daya alam setempat semakin tidak dapat maksimal untuk dimanfaatkan. Atau bahkan, tidak sedikit yang berpindah tangan kepada kaum urban dari daerah lain yang mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan di daerah tersebut.
Secara sosiologis, perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain memang akan membuat pergerakan yang dinamis semakin bertumbuh dan berkembang lantaran pengaruh psikologis untuk lebih gigih dan kuat berjuang untuk hidup lebih baik — yang dirasa lebih bebas dan merdeka — karena untuk meraih kesuksesan seperti terlepas dari berbagai beban — karena relatif tidak lagi memiliki rasa sefan dan sungkan — untuk melakukan pekerjaan apa saja bentuknya, sebab yang utama ialah hasil Raihan yang maksimal dapat dicapai. Karena itu pun sifat dan sikap materialistik jadi cenderung menguat dan mewarnai cara dan pola hidup mewah sebagai takaran umum dari apa yang dipahami sebagai kesuksesan. Meski begitu, tetap saja ada sedikit diantaranya yang idealis untuk tidak menempatkan keberhasilan secara material, tetapi lebih mengedepankan bagi hal-hal bersifat intelektual atau bahkan spiritual wujudnya.
Demikian juga untuk kaum muda di desa atau di daerah, lebih yakin dan percaya untuk lebih maju — utamanya untuk memperoleh kualitas pendidikan yang baik dan unggul — lebih memiliki peluang bisa diperoleh dari pendidikan yang ada di kota besar hingga di negara maju yang terkemuka di dunia.
Jadi warna pemudik pada waktu-waktu tertentu dalam arus yang sangat besar, juga cukup dominan diwarnai oleh para pelajar serta mahasiswa yang sedang menempuh studi dalam berbagai bidang maupun tingkat. Hanya saja sayangnya, setelah lulus pun dari lembaga pendidikan formal itu, sangat dominan yang enggan untuk kembali hidup dan menetap di tempat asalnya. Jadi mereka ini pula — setelah menyelesaikan studinya dan mendapat pekerjaan di kota karena enggan bekerja di desa atau di tempat asalnya — kini ikut menyemarakkan acara pulang mudik pada saat hari raya keagamaan, seperti Idul Fitri tahun ini.
Jakarta, 26 Maret 2025
—