Kapal Induk Otonom: Solusi Pertahanan Maritim Indonesia Di Masa Depan
INDONESIA-ASWINNEWS.COM- Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan unik dalam menjaga keamanan maritimnya.
Dengan luas wilayah yurisdiksi nasional ± 7,81 juta km², memiliki 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang ± 99.000 km, kebutuhan akan strategi pertahanan yang efektif menjadi sangat mendesak.
Hal itu dipaparkan DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar., Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC),Minggu pagi (23/03/2025) kepada Journalist aswinnews.com,di Jakarta.
Ia menekankan pentingnya pengembangan kapal induk otonom sebagai solusi modern untuk menjaga keamanan laut Nusantara.
Captain Hakeng menyoroti kebutuhan strategis Indonesia untuk memperkuat pertahanan maritimnya.
“Dalam dinamika geopolitik saat ini, keberadaan kapal induk sering dianggap sebagai simbol kekuatan dan penggentar bagi negara lain,” ujarnya. Namun, ia juga menekankan bahwa karakteristik perairan Indonesia yang unik, dengan kedalaman terbatas dan alur pelayaran yang sempit, menjadi tantangan tersendiri bagi pengoperasian kapal induk konvensional.
Selain itu,Captain Hakeng juga menyoroti ancaman militer yang dihadapi Indonesia, termasuk potensi konflik wilayah dengan negara tetangga dan ancaman di jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
“Dalam konteks seperti itulah Indonesia memerlukan kapal induk helikopter, bukan kapal induk pesawat tempur seperti milik AS, Inggris, Perancis, ataupun China,” jelasnya.
Ia juga mencontohkan konsep kapal induk drone yang dikembangkan oleh Iran sebagai alternatif yang lebih efektif.
“Indonesia memiliki luas wilayah yurisdiksi nasional sekitar 7,81 juta km² dan garis pantai sepanjang ± 99.000 km. Dengan wilayah laut yang sangat luas, sekitar 5,8 juta km², kita membutuhkan strategi pertahanan yang kuat. Namun, kita juga harus mempertimbangkan kondisi geografis kita yang unik. Banyak wilayah perairan Indonesia yang memiliki kedalaman terbatas, alur pelayaran yang sempit, serta terumbu karang yang dapat menjadi hambatan bagi kapal perang berukuran besar dalam melakukan menuver,” ujar Captain Hakeng.
“Sebagai contoh, kapal induk sekelas USS Gerald Ford milik AS memiliki harga lebih dari Rp 210 triliun, sedangkan kapal induk helikopter yang lebih sesuai untuk Indonesia memiliki harga sekitar Rp 15,9 triliun. Selain itu, biaya operasional kapal induk konvensional juga sangat tinggi, bisa mencapai lebih dari 5 miliar rupiah per hari untuk bahan bakar saja. Oleh karena itu, kita perlu mencari solusi yang lebih efisien dan efektif,” tambahnya.
Sebagai solusi, Captain Hakeng mengusulkan pengembangan kapal induk yang lebih kecil dan fleksibel, dengan tonase sekitar 20.000 hingga 30.000 ton, serta mengadopsi teknologi kapal induk otonom dan berbasis drone.
“Dengan konsep ini, kapal induk tidak perlu bergantung pada pesawat tempur berawak yang membutuhkan landasan pacu besar, melainkan dapat mengerahkan armada drone udara dan laut yang lebih fleksibel,” jelasnya.
Captain Hakeng juga menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek ekonomi dan industri dalam negeri dalam pembangunan kapal induk.
“Dengan mengadopsi kapal induk yang lebih kecil dan berbasis drone, Indonesia dapat menghemat anggaran pertahanan dan mengalokasikan sumber daya untuk penguatan sektor pertahanan lainnya,” ujarnya. Ia juga mendorong kerja sama dengan perusahaan galangan kapal lokal dan industri pertahanan dalam negeri untuk mendorong kemandirian.
Captain Hakeng menekankan bahwa Indonesia membutuhkan kapal induk sebagai alat strategis dalam menjaga kedaulatan dan keamanan maritimnya.
“Namun, pembangunan kapal induk tidak boleh hanya mengikuti tren global tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan kebutuhan operasional nasional,” tegasnya. Ia merekomendasikan pengembangan kapal induk yang lebih kecil, fleksibel, dan mampu beroperasi di perairan dangkal dan sempit, serta mengadopsi konsep kapal induk drone sebagai solusi modern dan efisien.
Team Red
–+