Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas
Islamophobia muncul akibat rasa ketakutan terhadap Islam yang berlebihan dan tidak rasional. Wujudnya Islamophobia di Indonesia sangat terselubung dikemas dalam bentuk seni, budaya dan media sosial. Peringatan internasional terhadap Anti Islamophobia yang diputuskan pada 25 Maret 2022 Direspon oleh Aspirasi Indonesia yang dimotori oleh Emak-emak yang umumnya sudah berusia pensiun untuk mengisi sisa hidup dengan membuat hal-hal yang baik bagi orang banyak, maka itu Anti Islamophobia sendiri tidak berarti harus mendapat perhatian dari umat Islam semata, tetapi juga patut mendapat sambutan dari umat beragama non Muslim yang dapat memperoleh imfak positif dari gerakan Anti Islamophobia agar dapat diterima secara nasional dan masuk dalam kalender nasional sekaligus ditandai dengan hari libur nasional untuk Indonesia.
Sekitar 200 lebih anak yatim piatu mendapat bingkisan lebaran dan takjil untuk berbuka puasa dari Aspirasi Indonesia yang sudah berkiprah sejak lima tahun silam memberi perhatian terhadap kemaslahatan bagi umat Islam di Indonesia.
Aspirasi Indonesia yang Dipimpin Wati Salam Iswapi dengan para bunda lainnya yang ikut memperjuangkan agar peringatan Hari Anti Islamophobia pada setiap tanggal 15 Maret dapat masuk dalam kalender nasional dan menjadi hari libur nasional di Indonesia, seperti yang menjadi topik utama dalam serangkaian acara bersama anak yatim piatu, diskusi serta berbuka puasa bersama di Gedung Dewan Dakwah Islam Indonesia, Jl. Kramat Raya No. 45 Jakarta Pusat.
Berbagai Nara sumber mengungkap latar belakang hingga ragam peristiwa serta perlakuan terhadap Islam yang dianggap sebagai ancaman. Sementara Islam yang sesungguhnya adalah pengusung sikap dan sifat rahmatan lil alamin. Kecuali itu, sikap pada sisi lain ada juga kesan dari sebagian umat Islam Indonesia sendiri yang tidak terlalu perduli dengan seruan Perserikatan Bangsa-bangsa yang menyatakan Anti Islamophobia patut mendapat perhatian dari semua pihak agar perlakuan buruk dan kekhawatiran terhadap Islam yang berlebihan tidak lagi terjadi di negeri manapun, termasuk Indonesia yang terbilang mayoritas penduduknya dalah umat Islam.
Tampak hadir juga Sri Eko Sriyanto Galgendu, Dr. Hidayat Nur Wahid dan Alexander Abu Taqi M. Mayestino. Dalam acara diskusi yang terbagi dalam dua bagian, Prof. Eggi Sujana menyesalkan tidak bisa ditampilan pada session pertama bersama pengurus MUI dan MPR RI yang dia anggap tidak tegas menjalankan fungsi dan tugas yang mereka emban untuk membela Islam yang selalu disudutkan. Karena hingga sekarang, kata Eggi Sujana, MPR RI tidak berani memanggil Presiden untuk diminta pertanggung jawabannya untuk melindungi dan membela rakyat.
Sementara Dharmo melihat silang sengkarut bangsa Indonesia sudah semakin parah sejak amandemen UUD 1945 dilakukan sejak tahun 2002 sampai sekarang. Sedangkan Timmy Tempati merasakan langsing Islamophobia ketika masjid yang diasuhnya di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat digusur secara paksa hingga Masjid yang menjadi tempat ibadah masyarakat sekitarnya itu tidak jelas statusnya
Tampil pada session pertama diskusi diantara Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua Majlis Ulama Indonesia Bidang Hubungan Luar Negeri, Dr. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Abdul Al Katiri, Ketua Ikatan Advokat Muslim Indonesia.
Kramat Raya, 15 Maret 2025
—