Oleh : Jacob Eresete
Wartawan Lepas
Resonansi dan getaran dari benturan peradaban boleh jadi telah menggeser posisi umat Islam Indonesia semakin dekat ke bibir jurang materialisme kapitalistik, kendati kendali ekonomi dan pasar belum juga berada dalam genggaman umat Islam yang mayoritas jumlahnya di Indonesia. Pergeseran umat Islam Indonesia yang semakin tersudut ke pojok sepi dalam persaingan dan perseteruan yang terus terjadi tampak pula di habitat politik. Setidaknya dalam pertarungan politik lima tahunan dalam wujud Pemilihan Umum, partai Islam pun terkesan tergeser oleh partai lain, sejak mulai diuji pada Pemilu pertama di Indonesia, 15 November 1955 yang menempatkan Partai Masyumi masuk pada urutan kedua terbesar di Indonesia bersama Partai Nasional Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia.
Lalu pada masa Orde Baru setelah fusi dilakukan Partai Ka’bah bisa ikut mengendus Kemenangan dalam Pemilu, karena partai Islam dapat dipersatukan dalam satu wadah. Setelah reformasi 1998, Partai Kebangkitan Sejahtera, hanya saja sayangnya belum mampu mempersatukan umat Islam yang semakin banyak terbelah dalam ambisi politik para tokoh untuk tampil sendiri dengan gerbong yang mampu dibuatnya hingga menjadi pesaing bagi partai Islam yang ada.
Benturan peradaban yang ditandai sejak berakhirnya perang dingin pada tahun 1980-an yang memposisikan peradaban Islam berhadapan dengan peradaban Barat, meski telah mampu menyudutkan umat Islam dalam kesan yang buruk seperti ditandai oleh peristiwa 11 September 2001 dengan runtuhnya menara WTC di News York, justru semakin membuka mata dunia menjadi semakin banyak yang simpati dan melihat kebenaran yang diusung oleh Islam dan umat Islam.
Gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman terhadap spiritualitas yang digagas GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang digagas dan dimotori oleh Gus Dur, Paku Buwono XII, Prof. Dr (HC) KH. Habib Khirzin, Sri Eko Sriyanto Galgendu yang kini lebih dikenal sebagai Pemimpin Spiritual Nusantara bersama tokoh agama dan adat lainnya tampak akan segera memetik buah tanaman yang telah mereka semai sejak akhir tahun 1990-an dari Solo, Jawa Tengah hingga sekarang berpusat di Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta.
Gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang gencar dilakukan Sri Eko Sriyanto bersama kawan-kawan tampak menemukan momentumnya yang tepat, dimana Indonesia sendiri memang merupakan lahan subur bertumbuhnya putik dan bunga spiritual yang indah karena mendapat dukungan penuh dari semua kalangan umat beragama di Indonesia. Selain itu, Sri Eko Sriyanto Galgendu sendiri memiliki reputasi yang baik dalam koprah serta kepeloporan hingga dharmanya sebagai pengurus Forum Persaudaraan Lintas Agama sebelumnya saat masih bermukim di Solo.
Kecuali itu, gerakan kebangkitan dan kesadaran serta pemahaman spiritual relatif memperoleh dukungan penuh dari masing-masing umat beragama yang ada di Indonesia. Setidaknya, melalui Forum Indonesia Damai yang telah rutin melaksanakan pertemuan setiap bulan sejak tahun 2023, kini menuai buahnya yang manis dalam beragam acara yang diikuti oleh umat semua agama tampak rukun dan mengasyikkan seperti yang pernah dilaksanakan di Katedral, Jakarta, diskusi serius bersama tokoh umat beragama yang ada di Indonesia di Masjid Agung Istiqlal, Jakarta.
Potensi Indonesia untuk survive dalam benturan peradaban yang tidak ubah semacam ajang pertarungan atau perangan, sangat mungkin dapat memposisikan Indonesia sebagai pemenang dalam skala regional maupun internasional (global), baik sebagai pemain maupun selaku penyelenggara dan penyedia arena tempat pertarungan berlangsung.
Posisi strategis bangsa Indonesia yang terbilang mayoritas sebagai peserta maupun penyedia arena tempat pertarungan dilangsungkan, akan lebih menguntungkan karena jalinan kerukunan dan keakraban antar umat beragama di Indonesia cukup baik dan harmoni untuk memenangkan pertandingan yang tidak mungkin bisa dielakkan.
Istiqlal, Jkt, 10 Maret 2025
—