Kerugian Pemerintah Rp. 1.000 Triliun Akibat Keculasan Pertamina,Kerugian Rakyat Pasti Lebih Besar Nilainya
Kerugian Pemerintah Rp. 1.000 Triliun Akibat Keculasan Pertamina, Kerugian Rakyat Pasti Lebih Besar Nilainya
Oleh : Jacob Ereste Wartawan Lepas
Bantahan Pertamina terhadap tuduhan dari pihak Kejaksaan Agung tentang blending atau pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) RON 90 Petalit dsn BBM RON 92 Pertamax dalam dugaan kasus korupsi yang telah menetapkan 7 orang tersangka termasuk Direktur Utama PT. Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, justru membuat rakyat semakin galau, setelah ikut dirugikan oleh ulah para pejabat yang korup. Sehingga aroma politik dalam kasus korupsi di Indonesia semakin nyata memiliki muatan kepentingan yang lebih buruk dan keji.
Fadjar Djoko Santoso, Vice President Corporate Communication Pertamina mengklaim bahwa BBM yang terjual kepada masyarakat sudah sesuai dengan standar yang ditentukan oleh Direktorat Jendral Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), katanya, Rabu 26 Februari 2025.
Dia juga memastikan untuk kualitas BBM yang dijual kepada masyarakat sudah sesuai dengan spek yang ditentukan oleh Dirjen Migas. Untuk Peramax RON 92 dan untuk Pertalit RON 90. Sementara itu, PT. Pertamina mengakui adanya proses penambahan zat aditif pada BBM jenis Pertamax sebelum didistribusikan ke SPBU, namun tidak mengoplos seperti yang dituduhkan oleh Kejaksaan Agung.
Lalu soalnya, mengapa Pertamina masih harus menambahkan zat aditif pada BBM jenis Pertamax, justru tidak diberikan penjelasan yang rinci, sehingga kegalauan masyarakat yang menjadi korban karena kendaraan yang dimiliki menggunakan BBM Pertamax agar tidak cepat rusak jadi semakin sulit, jika kerusakan kendaraan itu akibar dari ulah pihak Pertamina yang harus bertanggung jawab, setidaknya segera memberikan konvensasi atas kerugian yang dialami oleh masyarakat yang menggunakan BBM Pertamax tersebut.
Pengakuan Pelaksana Tigas Harian (PTH) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra menyatakan bahwa Petra Niaga hanya menerima di terminal sudah dalam bentuk BBM jenis Pertalit RON 90 dan BBM jenis Pertamax RON 92, tidak ada lagi proses perubahan. Meski dia juga mengatakan untuk BBM jenis Pertamax ditambahkan zat aditif dan proses penambahan warna, kata Mars Ega Legowo Putra. Dan proses injeksi tersebut merupakan proses yang umum dilakukan dalam industri minyak.
Sanggahan dari pihak Pertamina ini bisa saja dikonfrontir dengan sangkaan tuduhan dari Kejaksaan Agung yang mengungkapkan perkara korupsi di Pertamina dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT. Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama pada periode 2019 sampai tahun 2023 hingga kerugian negara (tanpa merinci kerugian rakyat yang menggunakan BBM Pertamax RON 92) diperkirakan mencapai Rp. 1.000 triliun. Karena kerugian negara pada tahun 2023 saja sekitar Rp 193,7 triliun.
Dalam versi dugaan yang dituduhkan Kejaksaan Agung bahwa PT. Pertamina Patrs Niaga membeli BBM Pertalite kemudian di blending atau dioplos di depo/ storage menjadi Pertamax. Jadi harga BBM Pertalite yang dibeli dengan harga BBM Pertamax inilah selisih harganya yang dikantongi oleh para pelakunya selama lima tahun hingga bernilai sekitar Rp. 1.000 triliun.
Dalam praktek korupsi yang bisa berjalan mulus selama 5 tahun ini, jelas melibatkan banyak pihak, sebab tidak ada suara yang mempersoalkan nya hingga aman dan nyaman bisa dilakukan sampai baru bisa terbongkar sekarang oleh Kejaksaan Agung. Karena itu, pun banyak pihak khawatir terhadap Kejaksaan Agung menjadi ciut dan tidak bernyali, seperti undur dirinya dari kasus PSN PIK-2 yang telah mendapat perintah langsung dari Presiden Prabowo Subianto untuk melibas semua pelaku korupsi di Indonesia yang sudah melampaui tingkat yang sangat mengerikan. Seperti pengkaplingan laut yang sangat terkesan akan menjadikan aparat rendahan sebagai tumbalnya.
Atas dasar itulah para pengamat merasa perlu untuk mengingatkan bahwa dalam kasus culas di Pertamina ini Menteri ESDM jelas bertanggung jawab terhadap pengawasan dan pengelolaan sumber daya energi yang dilakukan oleh Pertamina. Begitu juga Menteri BUMN jelas bertanggung jawab terhadap pengawasan dan pengelolaan BUMN, termasuk Pertamina.
Demikian juga Direktur Utama Pertamina harus bertanggung jawab terhadap pengawasan dan pengelolaan semua aktivitas dan kegiatan di Pertamina.
Dari pertanggung jawaban segenap pihak yang terlibat dalam tata kelola Pertamina ini, pasti dapat diketahui kemana saja hasil dari jarahan yang dilakukan itu mengalir dan menguap ke sejumlah pihak yang terlibat ikut mengamankan hingga mereka yang tutup mulut — seperti kura kura di atas perahu. Sementara setiap bulan terus menerima uang setoran.
Yang lebih penting dari dari tudingan Kejaksaan Agung ini, kerugian yang lebih besar harus dipastikan adalah rakyat yang mengkonsumsi BBM oplosan yang diperkirakan telah merugikan negara sekitar Rp. 1.000 triliun itu. Apalagi subsidi bagi rakyat — minimal untuk gas elpiji — tidak pula maksimal diberikan.