Dimensi Spiritual Upaya Menjaga Hidup Dan Kehidupan Yang Selaras Dan Harmoni Di Bumi
Oleh : Jacob Eresete
Wartawan Lepas
Ada yang mengatakan bahwa kecerdasan itu terdiri dari intelektual, emosional dan spiritual. Kecerdasan intelektual itulah yang dominan diajarkan di bangku sekolah formal kita sekarang, tanpa diikuti oleh usaha membangun kecerdasan emosional, apalagi kecerdasan spiritual.
Kecerdasan intelektual memang dapat dicapai hingga jenius dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan, tapi dominan abai pada kecerdasan emosional, yaitu pengendalian diri agar tidak melampaui batas menjadi tamak dan rakus seperti yang banyak dilakukan intelektual kita dalam berbagai bidang pekerjaan di pemerintahan maupun di bidang swasta termasuk di lembaga atau instansi yang bekerja untuk bidang ilmu dan pengetahuan dengan cara yang tidak jujur dan bertentangan dengan bisikan hati. Sehingga perilaku korup dan tindak pidana yang menerabas rambu-rambu etika dan moral dianggap sah dan halal. Karena itu, intelektualitas harus diselaraskan dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang mampu membimbing serta mengarahkan kepada perilaku yang baik — yang tidak tercela dan menjadi cemooh orang lain, bahkan tidak sedikit yang bisa merugikan bagi orang banyak.
Bukti dari perilaku bejat seperti korupsi, penyelewengan hingga sikap khianat terhadap bangsa dan negara — jelas dan pasti dilakukan oleh mereka yang terbilang pintar, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosional untuk mengendalikan diri seperti dapat diarahkan oleh kecerdasan dan kesadaran spiritual untuk memilah hal yang baik dengan hal-hal yang buruk yang merugikan orang lain termasuk dirinya sendiri.
Seorang ilmuan dari perguruan tinggi tidak sedikit yang terperosok dalam perbuatan yang buruk dan nista, mulai dari menerima suap hingga gampang mengkomersialkan jabatan dan otoritas dari jabatannya, seperti pejabat pemerintah lainnya yang bermain kotor mulai dari kebijakan hingga tindakannya untuk memperkaya diri dengan cara yang culas tidak beretika dan tidak bermoral, lantaran akhlaknya yang bobrok tidak dijaga oleh kesadaran dan kecerdasan emosional yang abai pada nilai-nilai spiritual sebagai bagian dari anugrah Tuhan.
Memang dalam sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia tampak gerakan kebangkitan dan kesadaran spiritual terus bangkit dan menjadi perhatian banyak orang yang mulai menyadari bahwa kebobrokan yang terjadi pada semua lini kehidupan lantaran lemahnya kesadaran dan pemahaman spiritual sebagai pertahanan dan ketahanan diri untuk mengendalikan kecerdasan dan kemampuan intelektual dan emosional yang menjadi pemicu ketamakan dan kerakusan tidak hanya sebatas materi semata, tetapi juga jabatan, status sosial seperti kegandrungan pada ijasah palsu dan gelar palsu untuk mengelabui banyak pihak, tidak cuma hendak mengelabui masyarakat tetapi juga pemerintah untuk menggaet posisi dengan cara menghalalkan segala bentuk usaha.
Ijasah palsu dan gelar palsu yang diperoleh lewat makelar sungguh sangat memalukan dan merendahkan harkat dan martabat perguruan tinggi termasuk yang bersangkutan, karena tidak lagi memiliki rasa malu dan harga diri yang sepatutnya tetap dijaga dan dimuliakan.
Ketamakan dan kerakusan aparat pemerintah pun nyaris meliputi seluruh bidang dan sektor, mulai dari aparat penegak hukum hingga mereka yang berada di instansi penjaga moral dan etika agar akhlak dapat terjaga, ikut pula melakukan keculasan dan kedegilan yang sangat memalukan.
Kerunyaman dalam pelaksanaan ibadah haji misalnya mulai dari pelaksanaannya hingga penggunaan dana milik jamaah yang direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat bertumpuk dan digunakan tidak sebagaimana semestinya telah terjadi dan menjadi bulan-bulanan dalam kecemasan warga masyarakat, persis seperti dana pensiun, uang asuransi yang digerogoti tanpa pernah menyadari bila azab yang akan ditanggung kemudian bersama anak, istri dan seluruh anggota keluarganya yang ikut menikmati uang haram yang diperoleh dengan cara yang tidak benar itu.
Demikian juga dana subsidi yang menjual kemiskinan rakyat, tetapi justru ditilep seperti bantuan bahan pangan, subsidi bahan bakar minyak hingga listrik dan elpiji yang mengatasnamakan demi dan untuk rakyat itu.
Dari perspektif kesadaran dan pemahaman spiritual inilah rakyat percaya — dalam ketidakberdayaannya melakukan kontrol dan pencegahan — sangat dipercaya dan diyakini bahwa azab dalam bentuk pembalasan yang berat akan mereka tanggung di dunia sampai akhirat. Sebab penderitaan yang mendera rakyat artinya adalah mencederai sunnatullah Tuhan yang menginginkan manusia hidup rukun dan damai serta berbahagia di dunia dan di akhirat. Tapi ulah manusia yang tamak dan rakus, telah membuat kerusakan hidup yang harmoni di bumi.
Banten, 6 Maret 2025
—