Tetumbuhan Di Jalan Setapak Yang Tersemai Berbuah Kata-kata
Tetumbuhan di Jalan Setapak Yang Tersemai Berbuah Kata-kata
Oleh : Jacob Eresete Wartawan Lepas
Ketika seorang penulis menyadari sepenuh hati bahwa apa yang sedang dikerjakan adalah upaya mengukir keindahan untuk batu nisan bagi dirinya sendiri, maka sikap ugahari dan kejujuran serta rasa penuh tanggung jawab pun tersemai dan memetik di dalam lubuk hatinya yang pantas terjaga dan selalu bersih, tanpa pamrih. Meski mungkin saja tetap tersisa relung dan celah khianat yang terselip diantara khilaf lantaran terus digoda tergganggu oleh kemiskinan yang terus menerus menggulung tiada kunjung. Sementara iklim Materialistik terus mengusik sampai titik paling rawan dan lemah. Dalam kondisi serupa inilah kawan sejati dapat teruji kesetiaannya tanpa janji dan transaksi apapun. Apalagi hanya untuk sekedar mengkalkulasi untung dan rugi dalam bilangan apapun.
Batu nisan yang telah terukir itu pun bisa jadi lapuk sebelum selesai tertulisnya torehan terakhir. Sehingga sebuah prasasti masa lalu untuk sekedar untuk menggenapkan bilangan jumlahnya korban yang ditelan bumi. Walau tetap saja mungkin ada seorang arkeologi yang meratap sedih dan pilu hingga air matanya berurai membasahi diskripsi yang tengah dia susun dalam do’a yang tiada bertepi. Sebab yang mampu dia tuliskan hanya sepenggal judul yang juga tidak pernah selesai dia rampungkan seperti novelet karya filsuf yang dia lupa namanya. Tapi, toh dia sendiri mengakui bahkan sempat pula mengatakan, apalah artinya sebuah nama. Sebab yang terpenting adalah esensi dari makna yang tersirat, tiada pula terlalu pusing kepada hal- hal yang tersurat.
Penulis itu sendiri pun tidak terlalu menganggap penting apa yang dia tulis. Sebab yang terpenting bagi dirinya adalah bahwa menulis bukan sekedar untuk menandai bahwa dirinya pernah hidup pada suatu masa yang mungkin pula tidak terlalu banyak menjadi perhatian bagi banyak orang. Tetapi yang penting telah menandai bahwa dirinya ingin hadir dalam setiap napas kehidupan. Tanpa perlu beharap untuk terus dikenang. Termasuk bagi mereka yang terbilang paling dekat dengan dirinya.
Pada suatu pase ia pernah beranggapan bila menulis itu bagi dirinya adalah bagian dari perjalanan spiritual yang mengasyikkan. Sehingga tak lagi penting capaian yang bisa didapat, kecuali hanya rekreasi batin yang menyegarkan jiwa ketika raga telah menjelma ke kedalaman sukma, seperti sumur tanpa dasar.
Hanya sahabat dan kerabatnya yang terperangah takjub. Mungkin juga bingung bagaimana jalan yang sepi dan sunyi itu jadi pilihannya. Sementara sahabat dan kerabatnya yang lain cuma bisa menduga-duga, mungkin saja dia tengah memerankan lakon drama besar yang pernah dis tulis sinopsisnya namun belum pernah sekalipun dipentaskan di atas panggung sandiwara se level kampung sekali pun yang dahulu pernah menjadi obsesi dan ambisinya semasa anak-anak, jauh sebelum beranjak dewasa.
Kini di usia senjanya yang terus bertunas dan meranggas, semua itu kembali sekejap tersibak, semacam siluet yang lewat seakan sedang mengingatkan tentang catatan masa silam nya yang terlupakan.
Penulis itu pun takjub, menyaksikan dirinya telah terbungkus oleh kata-kata, kalimat yang terjurai panjang hingga bait-baik sajak yang dia sendiri tak tahu persis, siapa sesungguhnya yang telah menuliskan bagi dirinya. Dan dia sendiri pun tak sepenuhnya yakin, bahwa semua itu adalah pemandangan indah di tengah kebun yang rimbun bertumbuhan kata-kata dari tetumbuhan yang tersemai.