Rizal Tanjung Hendak Meluruskan Soal Yang Sudah Lurus,Justru Bisa Menjadi Bengkok


Rizal Tanjung Hendak Meluruskan Soal Yang Sudah Lurus, Justru Bisa Menjadi Bengkok

Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas


Upaya Rizal Tunjung untuk meluruskan pemahaman tentang agama dan budaya dalam perjalanan spiritual manusia yang saya tulis (Jacob Ereste) cukup bagus dan santun, (Termuat di Grouo Whatsapp Hatipena.Com, 25 Febryari 2025), hanya saja tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya hendak diluruskan. Justru yang sudah lurus malah menadi bengkok. Atau bahkan patah, akibat hendak diluruskan secara paksa. Padahal sesuatu yang sudah lurus tidak perlu lagi diluruskan. Karena bisa terkesan tak punya ide atau gagasan untuk menulis yang lebih kreatif dan bermutu hingga dapat memberi manfaat bagi banyak orang.

Agama memang tidak membutuhkan budaya, tapi pengaruh budaya — dalam perjalanan spiritual manusia tidak terhindar — sehingga idiom-idiom agama bisa diselaraskan dengan idiom budaya. Maka itu, mulai dari cengkok melafazkan ayat-ayat suci pun hingga azan jadi beragam corak warna dialeknya, bahkan lantunan nadanya pun menjadi khas dari daerah setempat. Seperti azan khas Mesir atau Kairo apalagi setelah jauh dibawa ke Nusantara yang lebih beragam corak dan dan warna budayanya. Jadi untuk mengatakan budaya bukan bagian dari agama itu sangat tergantung dari kemampuan melihat unsur-unsur budaya yang berkelindan dalam agama. Demikian juga agama yang dianggap terbebas — tidak tergantung pada budaya. Pemahaman ini hanya dimungkinkan dapat dimengerti dari penjelajahan sejarah dan perkembangan agama-agama yang ada di dunia, termasuk agama yang diturunkan dari langit, atau yang lazim disebut agama Samawi.

Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah agama dan budaya dapat ditelisik sifat dan sikapnya yang saling berkelindan itu, mulai dari pengaruh bahasa –sebagai produk budaya — sudah mulai berperan sehingga pada beberapa abad kemudian Islam diterima oleh warga masyarakat Suliki di Sumatra Barat setelah singgah di berbagai negeri lain. Jadi jelas peran budaya dalam agama, dan agama pun berperan dalam perkembangan budaya. Sehingga anggapan salah bahwa agama dan budaya begitu erat, tak lagi perlu diluruskan.

Dalam Islam, agama adalah wahyu, semua umat Islam paham tentang wahyu ini. Sama halnya dengan pemahaman tentang budaya adalah produk manusia yang tidak cuma dapat berubah, tetapi akan terus berubah dari waktu ke waktu. Lalu dimana salahnya yang perlu diluruskan ?

Islam memang agama yang sudah sempurna dan memang tidak tidak membutuhkan tambahan budaya, namun realitas dalam perjalanan sejarah dan perkembangan yang dialami oleh agama dapat diterima oleh manusia yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat, mulai dari ungkapan dalam bentuk bahasa, pakaian serta asesoris dalam upacara ritual keagamaan yang selaras dan sesuai dengan adat istiadat hingga budaya yang ada dalam masyarakat setempat. Maka itu jadi terkesan lucu ketika orang Indonesia masih harus memakai siwak seperti yang dahulu, katanya digunakan oleh Nabi Muhammad SWT.

Kekeliruan yang terjadi dalam memahami bahwa Islam itu adalah agama yang sempurna, justru ada yang tidak mengakui adanya agama Samawi yang sebagai bagian dari agam lain yang diturunkan Tuhan dari langit. Maka itu yang keliru justru Rizal Tanjung yang salah memahami sehingga harus mengatakan bahwa budaya itu bukan bagian dari agama.

Demikian pula dengan identitas Muslim bukan sekedar budaya. Persis seperti memakai peci dan sarung, karena identitas seorang Muslim memang tidak cuma bisa dilihat dari pakaiannya semata, tapi juga dari perangai dan tingkah laku serta amal dan perbuatannya. Bahkan dari tata caranya menyanggah atau mengkoreksi tulisan orang lain pun lewat media sosial yang terbuka perlu adanya tata krama. Seperti mulianya pandangan hidup orang Minang yang berpegang teguh pada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Dan Syarak Mangato Adat Memakai, hingga Alam Takambang Jadi Guru.

Apalagi sekiranya Rizal Tanjung mau merendah hati untuk memahami peran dan sepak terjang Ulama Besar dari Minangkabau dalam mensyiarkan Agama Islam seperti yang dilakukan oleh Syekh Sulaiman Ar Rasuli sebagai Inyiak Canduang dengan mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah pada masa hidupnya (10 Desember 1871 – 1 Agustus 1970). Hingga beliau dikenal sebagai tokoh penyebar gagasan keterpaduan adat Minangkabau dan syariat yang mengawali Adaik Basandi Syarah, dan Syarah Basandi Kitabullah. Maka dari pandangan hidup orang Minang yang sangat dahsyat kandungan nilai-nilai agama dan budayanya ini, saya jadi ragu pada Rizal Tanjung belum memahami dan menghayati filosofis Adat Basandi Syarah, Syarah Basandi Kitabullah tersebut.

Meski begitu, bagi saya sekedar untuk membuka cakrawala berpikir kritis mengenai agama serta budaya, bisa saja ini menjadi awal yang baik untuk lebih mendalami peran agama dan peranan budaya dalam hidup dan kehidupan yang harus lebih maju dalam memasuki masa depan yang lebih rumit dan lebih menantang agar lebih bijak memahami dan menyikapi semua masalah terlebih dahulu untuk direnungkan. Sebab hasrat untuk sekedar terkesan pintar, sering kali tanpa disadari akan menunjukkan kebodohan serta kedunguan yang bisa sangat memalukan.

Salam kreatif dari sata untuk terus tetap bersemangat agar semakin kritis dan tajam mengikuti gerak kebangkitan kesadaran beragama yang terus bergesekan dengan budaya (kalau belum bisa disebut seperti benturan budaya yang telah menjadi kecemasan bangsa Barat). Sedangkan di belahan dunia bagian Timur terus bertumbuh gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual untuk membentengi etika, moral dan akhlak mulia manusia sebagai khalifatullah wakil Tuhan di bumi.


Banten, 26 Februari 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *