Renungan Jumat: Literasi Keikhlasan Dalam Beribadah
Penulis : Abah Roy
Ketua Aswin Cirebon
Dalam kehidupan seorang Muslim, keikhlasan menjadi pondasi utama dalam setiap amal dan ibadah. Keikhlasan bukan sekadar konsep teologis, tetapi merupakan prinsip hidup yang menuntun seseorang untuk menjalankan segala aktivitas dengan tujuan murni, tanpa mengharap imbalan selain ridha Allah. Dalam dunia literasi Islam, banyak kisah dan refleksi yang menggambarkan bagaimana keikhlasan menjadi faktor penentu diterima atau tidaknya sebuah amal.
Sejak dahulu, para ulama dan cendekiawan Muslim menuliskan berbagai pelajaran tentang makna keikhlasan. Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa keikhlasan adalah kunci utama kebahagiaan hakiki. Ia menjelaskan bahwa seseorang yang beribadah tanpa ikhlas ibarat seorang musafir yang membawa beban berat, tetapi perjalanannya tidak mengarah ke tujuan yang benar. Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan hanya akan menjadi kosong dan kehilangan nilainya di hadapan Allah.
Al-Qur’an sendiri secara eksplisit mengajarkan pentingnya keikhlasan dalam firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menunjukkan bahwa keikhlasan bukan hanya sekadar anjuran, melainkan perintah langsung dari Allah bagi hamba-hamba-Nya. Dalam realitas kehidupan, sering kali kita mendapati fenomena di mana seseorang beribadah atau berbuat baik bukan karena dorongan hati yang tulus, melainkan karena faktor eksternal seperti pujian, penghormatan, atau kepentingan pribadi. Inilah yang disebut dengan riya’, suatu penyakit hati yang dapat merusak nilai ibadah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’ (pamer dalam ibadah).” (HR. Ahmad)
Dalam dunia literasi Islam, banyak kisah yang mengilustrasikan betapa besar dampak keikhlasan. Salah satu kisah yang terkenal adalah tentang seorang ulama yang beribadah sendirian di tengah malam. Suatu ketika, ia mendengar seseorang masuk ke dalam masjid. Tanpa sadar, ia mulai memperindah bacaan shalatnya agar terdengar merdu oleh orang lain. Namun, setelah ia menyelesaikan shalatnya, ternyata tidak ada seorang pun di dalam masjid. Saat itulah ia sadar bahwa ia baru saja terjebak dalam riya’, beribadah bukan semata-mata karena Allah, melainkan karena keinginan mendapatkan pengakuan dari manusia.
Kisah ini memberikan pelajaran bahwa keikhlasan adalah sesuatu yang harus senantiasa dijaga dan diuji. Kadang kala, kita merasa sudah melakukan sesuatu dengan ikhlas, tetapi jika kita menggali lebih dalam, mungkin ada niat-niat tersembunyi yang masih bercampur dengan kepentingan duniawi. Oleh karena itu, para ulama selalu menasihati agar setiap amal diawali dengan niat yang benar dan terus dimurnikan sepanjang perjalanan.
Keikhlasan juga memiliki dampak besar dalam kehidupan sosial. Orang yang ikhlas akan lebih mudah berlapang dada, tidak mudah kecewa jika tidak dihargai, dan tidak merasa sombong ketika mendapatkan penghormatan. Dalam dunia pendidikan, misalnya, seorang guru yang mengajar dengan keikhlasan akan tetap bersemangat dalam mendidik murid-muridnya, meskipun ia tidak mendapatkan penghargaan materi yang besar.
Demikian pula dalam dunia kepemimpinan. Pemimpin yang ikhlas akan bekerja demi kemaslahatan rakyat, bukan demi ambisi pribadi. Sejarah mencatat banyak pemimpin besar dalam Islam yang mengutamakan keikhlasan, seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang tidak tergiur oleh kemewahan dunia dan lebih memilih hidup sederhana demi kepentingan umat.
Sebagai bentuk refleksi dalam renungan Jumat ini, mari kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah ibadah yang kita lakukan selama ini benar-benar ikhlas? Apakah perbuatan baik yang kita lakukan murni untuk Allah atau ada keinginan tersembunyi untuk mendapatkan pujian?
Dalam perjalanan menuju keikhlasan, kita harus senantiasa berdoa dan berusaha untuk membersihkan hati dari segala penyakit riya’, ujub, dan sum’ah. Sebab, pada akhirnya, hanya amal yang dilakukan dengan ikhlas yang akan diterima oleh Allah SWT dan membawa kebahagiaan sejati di dunia maupun akhirat.
Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا، وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا، وَلَا تَجْعَلْ فِيهِ لِأَحَدٍ غَيْرِكَ شَيْئًا
“Ya Allah, jadikanlah seluruh amal perbuatanku sebagai amal yang saleh, jadikanlah amal itu ikhlas karena-Mu, dan janganlah Engkau jadikan dalam amal tersebut sesuatu yang ditujukan kepada selain Engkau.”
Semoga kita semua termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang senantiasa beribadah dengan keikhlasan dan mendapatkan ridha-Nya. Aamiin.
Cirebon,7 Pebruari 2025
—
Gangguan Jaringan Komunikasi, Informasi Dan Publikasi Kita Juga Harus Serius Dihadapi Dengan Berbagai CaraOleh :…
Kodam I/BB Adakan Makan Sehat Bergizi Untuk Siswa SD Kartika I-1 Dan Kartika 1-2 Medan…
BSKDN Kemendagri Sambut Baik Kolaborasi Perlindungan Masyarakat Miskin Dan Pekerja RentanJAKARTA-ASWINNEWS.COM- Badan Strategi Kebijakan Dalam…
Rizal Tanjung Hendak Meluruskan Soal Yang Sudah Lurus, Justru Bisa Menjadi BengkokOleh : Jacob EresteWartawan…
Kemiskinan dan Kebodohan Membuat Penjajah Terselubung Semakin Menjadi-jadiOleh : Jacob EresteWartawan LepasSungguh tragis di negeri…
Pangdam Kasuari : Jangan Hanya Menjadi Pengamat, Tetapi Jadilah Motor Penggerak Perubahan Dalam Tubuh TNI…