Imlek Dalam Timbangan Tauhid : Antara Tradisi Dan Keyakinan

“Imlek dalam Timbangan Tauhid: Antara Tradisi dan Keyakinan”

Penulis,Drs.Rohiman
Pemerhati tauhid

Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan tradisi penting bagi masyarakat Tionghoa di seluruh dunia. Selain menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga, Imlek juga sarat dengan berbagai ritual dan simbol yang diyakini membawa keberuntungan, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Dalam konteks Islam, perayaan ini menarik untuk dikaji dari perspektif tauhid, terutama dalam membedakan antara unsur budaya dan keyakinan yang berpotensi bertentangan dengan prinsip keesaan Allah.

Tauhid dalam Islam: Prinsip Utama dalam Keimanan

Tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah, menjadi fondasi utama dalam ajaran Islam. Umat Islam diperintahkan untuk hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun (QS. Al-Ikhlas: 1-4). Setiap aktivitas yang mengandung unsur kesyirikan atau mempercayai kekuatan selain Allah harus dihindari. Oleh karena itu, ketika menghadapi budaya atau tradisi lain, termasuk Imlek, umat Islam perlu memilah mana yang masih sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang bertentangan dengan prinsip tauhid.

Imlek: Budaya atau Ritual Keagamaan?

Secara historis, perayaan Imlek memiliki akar dalam kepercayaan tradisional Tionghoa yang mencampurkan unsur budaya dan agama. Beberapa praktik dalam Imlek yang perlu dicermati dalam perspektif Islam adalah:

1. Ritual Persembahan kepada Leluhur dan Dewa
Dalam tradisi Tionghoa, penghormatan kepada leluhur dilakukan melalui penyalaan hio (dupa), penyajian makanan, dan doa. Dari perspektif tauhid Islam, praktik ini bisa menjadi bentuk kesyirikan jika diyakini bahwa roh leluhur memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia. Islam mengajarkan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan penuh atas segala sesuatu (QS. Al-Jin: 18).


2. Simbol Keberuntungan dan Feng Shui
Banyak masyarakat Tionghoa yang percaya bahwa benda tertentu seperti warna merah, koin keberuntungan, atau penataan rumah dengan prinsip feng shui dapat membawa rezeki. Dalam Islam, keberuntungan dan rezeki hanya berasal dari Allah (QS. Adz-Dzariyat: 22-23). Keyakinan terhadap benda sebagai sumber keberuntungan tanpa landasan syariat Islam dapat menjurus pada syirik kecil (syirik khafi).


3. Angpao dan Silaturahmi
Tradisi memberi angpao kepada anak-anak dan keluarga merupakan bagian dari budaya Imlek yang tidak bertentangan dengan Islam, selama niatnya adalah berbagi rezeki tanpa unsur keyakinan mistis. Islam bahkan sangat menganjurkan bersedekah dan menjaga silaturahmi (QS. Al-Baqarah: 261).



Sikap Islam terhadap Perayaan Imlek

Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi terhadap budaya lain, selama tidak bertentangan dengan akidah Islam. Dalam konteks perayaan Imlek, umat Islam dapat mengambil bagian dalam aspek sosial dan budaya seperti silaturahmi, menghormati keluarga Tionghoa yang merayakan, atau menikmati kuliner khas Imlek yang halal. Namun, keterlibatan dalam ritual yang mengandung unsur syirik harus dihindari.

Mengucapkan selamat Imlek dengan niat menjaga hubungan baik juga menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian membolehkan selama tidak mengandung pengakuan terhadap keyakinan lain, sebagaimana Islam mengajarkan hidup berdampingan dalam keberagaman (QS. Al-Kafirun: 6).

Kesimpulan

Dalam perspektif tauhid Islam, perayaan Imlek dapat diterima sebagai tradisi budaya selama tidak melibatkan keyakinan yang bertentangan dengan keesaan Allah. Umat Islam sebaiknya bersikap bijak dalam menyikapi tradisi ini, dengan tetap menjaga akidah, menjauhi praktik kesyirikan, dan mengambil sisi positif dari nilai-nilai sosial seperti kebersamaan dan berbagi. Islam menghargai perbedaan budaya, namun dalam hal akidah, prinsip tauhid harus tetap menjadi pegangan utama dalam setiap aktivitas yang dilakukan.

Cirebon, 29 Januari 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *