Budaya Menulis dan Membaca Yang Loyo Sementara Mimpi Hadiah Nobel Sudah Digantungkan di Langit

Budaya Menulis dan Membaca Yang Loyo Sementara Mimpi Hadiah Nobel Sudah Digantungkan di Langit

Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas


Kesadaran dan pemahaman terhadap gairah membaca masyarakat diakui dan dipahami oleh banyak orang akibat gerakan aktivitas dan semua bentuk pekerjaan pekerjaan yang semakin cepat dan telah menjadikan bagian dari bidang pekerjaan pelayanan jasa yang mulai mencari bentuk agar dapar menjadi sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan yang layak dan pantas menjadi unggulan bidang pekerjaan di masa depan. Maja itu jasa pengantaran orang dan barang terus berkembang pesat menjadi penawar riak gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang tidak lagi menjadi topik masalah pokok bagi kaum buruh maupun bagi organisasi buruh sebagai alasan untuk melakukan aksi mogok dan unjuk rasa seperti yang marak terjadi pada tahun 1980 hingga tahun 2 000. Kini soal PHK tidak lagi cukup menggetarkan gerak perlawanan kaum buruh maupun organisasi buruh, sebab bangunan dari pemecah gelombang dari PHK telah mampu diredam oleh oleh gojek dan ojek yang bisa dilakukan dengan mudah hanya dengan memiliki kendaraan bermotor roda dua apalagi untuk mereka yang memiliki kendaraan roda empat yang dapat dilakukan dengan cara sambilan sementara mencari dan menunggu kesempatan kerja yang baru.

Kecuali itu, sejumlah kaum buruh yang menjadi korban PHK akibat kondisi ekonomi di Indonesia yang semakin memburuk tidak kunjung pulih sejak enam tahun silam — yang acap disebut sebagai imbas dari korban Covid-19 — tidak sedikit yang memilih membuka usaha sendiri seperti warung makan dan minuman dadakan yang tampak semarak berjejer disepanjang jalan dan jalan di perkampungan, meski dengan kondisi yang tidak terlalu banyak bisa digarap menjadi andalan hidup di masa depan. Sebab persaingan tampak begitu kuat dan keras untuk dihadapi dengan daya beli masyarakat yang letoy dan sangat lemah seperti tidak berdaya diterpa badai ekonomi yang buruk dan lemahnya daya masyarakat yang terus melemah entah sampai kapan akan berakhir.

Inilah sebabnya sejumlah program pemerintah yang bisa meringankan beban hidup masyarakat — seperti makan bergizi gratis, keringanan atau bahkan bantuan membebaskan biaya sekolah anak-anak hingga subsidi transportasi untuk masyarakat di perkotaan layak uluran tangan malaikat yang datang dari surga membawa berita kegembiraan yang perlu, serta layak dikembalikan melalui do’a yang ditiupkan ke langit. Begitulah kisah dan cerita ikhwal gairah membaca warga bangsa Indonesia menjadi kendor. Lebih ironis lagi para pegiat media sosial di Indonesia — justru menjadikan suguhan visual sebagai sarana paling efektif dan efisien yang bisa di gunakan secara maksimal pada era generasi milenial atau gen-z sekarang ini. Mereka justru mengekploitasi gairah membaca yang melempem itu melalui tampilan visual (gambar dan pidato singkat) yang tidak memberi motivasi untuk lebih merenungkan suatu masalah, hingga terkesan sebatas kilasan info semata yang kemudian gampang untuk dilupakan. itulah pula sebabnya media sosial di Indonesia pun jadi marah dan meriah menyajikan gambar, visualisasi sekilas seperti yang termuat dalam yutub dan sejenisnya yang tak sampai mengajak pemirsa melakukan perenungan, analisa dan berpendapat kecuali hanya menjadi penonton belaka. Akibatnya, gairah dan daya baca warga bangsa Indonesia pun — yang harus cerdas seperti amanah UUD 1945 — semakin menjadi jauh seperti panggang dari api.

Lalu, dalam kondisi kemalasan warga masyarakat yang enggan membaca dan semakin doyan menonton tampilan media sosial dalam sajian dan tampilan visual justru semakin dimanjakan dengan berbagai suguhan dan tampilan atas nama kesukaan dan kemudahan yang diinginkan oleh warga masyarakat.

Konsekuensinya memang dari daya kritis yang mandek — atau bahkan dapat dikatakan menurun ini — kualitas manusia Indonesia bisa makin tertinggal dari bangsa asing yang justru semakin menguasai ilmu dan pengetahuan untuk mendominasi masa depan dengan bentuk peradaban yang sesuai dengan suka cita mereka. Konsekuensinya pun, budaya suku bangsa Indonesia yang sangat diharap mampu menjadi patron budaya masa depan di dunia dengan segenap nilai-nilai spiritual yang luhur berkepribadian khas bangsa Timur bisa semakin terdesak dan tersudut tidak mampu menempati posisi terdepan sebagai garda terdepan dari peradaban manusia yang mewarnai bumi.

Akibat lanjut dari kecenderungan keengganan membaca warga masyarakat di jaman percepatan (perlombaan) informasi online ini bagi penulis yang tidak bermental pejuang, akan ikut larut — kalau tidak bisa dikatakan ikut menyerah pada kondisi dan situasi kemerosotan kualitas manusia ini, sehingga jera atau menyerah kalah dalam himpitan budaya teknologi cepat-saji yang serba ingin praktis dan gampang, seperti yang membius para pejabat di negeri ini yang mabuk korupsi. Kecuali itu pun, budaya menulis bangsa Indonesia tak hanya terancam tenggelam — karena tidak tumbuh dan tidak berkembang — tapi juga mati dan punah dari bumi. Sementara bangsa Indonesia sendiri masih tetap bermimpi untuk meraih hadiah nobel yang bergengsi di dunia intelektual ini. Jadi ibarat pungguk merindukan rembulan, budaya menulis dan membaca yang loyo, sementara mimpi tentang hadiah nobel sudah terlanjur digantungkan di langit. Agaknya, demikian kondisi dan situasi budaya intelektual kita yang semakin tidak selaras, tidak berbanding luruh dengan semangat gerakan kebangkitan spiritual bangsa kita untuk memimpin dunia membangun peradaban untuk semua bangsa.


Banten, 18 Januari 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *