Ibadah Haji Sebagai Penakar Sikap Dan Sifat Dari Rendah Hati Dan Kepongahan Manusia

Ibadah Haji Sebagai Penakar Sikap Dan Sifat Dari Rendah Hati Dan Kepongahan Manusia

Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas


Salah satu wujud ibadah bagi Umat Islam adalah menunaikan ibadah haji, mujahadah ini adalah untuk menyaksikan kebesaran Allah SWT di Baitullah, wukuf di Arafah dan ritual keagamaan lainnya, termasuk mengunjungi tempat bersejarah yang ditandai oleh keberadaan para Nabi maupun sahabat setia yang banyak bersama wali Allah itu.

Karenanya tidak heran bila bisa mengalami sendiri kejadian dan peristiwa yang mencengangkan, mengagumkam bahkan menakutkan karena semua banyak perbuatan yang telah dilakukan di kampung halaman sebelumnya, bisa terputar ulang. Atau hanya sekedar semacam isyarat saja terhadap perbuatan yang dahulu pernah dilakukan.

Seorang kawan jurnalis yang selalu asyik merekam kisah perjalan haji dari mereka yang baru pulang dari Tanah Suci bagi Umat Islam ini sampai menunda rencana untuk menunaikan ibadah haji yang dia nilai sangat sakral serta penuh nilai-nilai spiritual yang nyata. Dari Ibundanya sendiri yang menunaikan ibadah haji beberapa waktu silam, dia sendiri sempat terperangah menyimak cerita dari saudarinya yang ikut mendampingi sang Ibu selama menjalani ibadah haji itu yang sedemikian mulus dan menyenangkan. Padahal, saat hendak berangkat haji, sang Ibu agak kurang baik kesehatannya. Utama karena telah berusia renta. Kedua karena kurang selera untuk makan, selebihnya secara fisiknya tubuhnya sangat lemah sekedar untuk menopang dirinya sendiri untuk berdiri apalagi hendak berjalan.

Sementara anaknya yang juga sudah cukup umur dan pensiun dari pegawai negeri sipil di daerah, pun memiliki tubuh yang terbilang subur dengan bobot tak kurang dari 80 kilogram. Tapi toh, semua berjalan happy yang menyenangkan. Sebab selama di Tanah Suci itu sang Ibu yang telah dibekali dengan kursi roda berikut biaya jasa untuk mereka yang mau mendorong kursi roda itu, bila sang Ibu mengalami kesulitan untuk berjalan, justru sampai kembali ke kampung halaman seusai menunaikan ibadah haji itu, kursi roda yang telah disiapkan itu tidak pernah terpakai. Bahkan segel aslinya dari toko pun tidak sempat dilepaskan.

Alkisah, sang Ibu selama di Mekkah justru menjadi segar bugar, sehat bahkan menurut penuturan anaknya yang setia mendampinginya, merasa kewalahan karena sang Ibu sedemikian aktif dan lincah untuk melihat semua obyek yang menarik hatinya. Bahkan setiap selesai acara makannya yang lahap, sang Ibu selalu menyempatkan diri berjalan–jalan untuk melihat suasana sekitar tempatnya tinggal. Bahkan tidak jarang satu unik gedung tempatnya tinggal pernah dikelilingi, sehingga sang anak merasa khawatir pada sang Ibu akan mengalami kelelahan dan sakit.

Tetapi dari kesaksian nyata ini memberi kesadaran baru bagi keluarga besarnya, bahwa selama hidup sang Ibu sangat kurang diajak piknik atau tamasya bersama keluarganya. Sehingga sampai usia pada 80 tahunan, sang Ibu baru bisa menikmati perjalanan fisik sekaligus perjalanan spiritual yang sangat dia nikmati. Maka itu, atas inisiatif anggota keluarga sang Ibu yang lain, setibanya di tanah air dan tempat tinggal mereka yang cukup jauh di dari Ibu Kota Jakarta, mereka membuat acara syukuran — meski dalam bentuk yang paling sederhana — tetapi perlu mengekspresikan puja dan puji kepada Tuhan.

Lantaran sebelumnya, banyak kisah yang telah didengar dari sejumlah kerabat dan sahabat yang menunaikan ibadah haji ini justru mengalami peristiwa yang tak sedap. Mulai dari hilangnya kemampuan melihat selama berada di Tanah Suci itu, hingga beragam insiden yang dialami tiada pernah dapat diterima oleh akal sehat.

Bagaimana mungkin, selama mengikuti serangkaian acara ritual ibadah keagamaan itu, satu dari anggota keluarga — yang itu itu juga — selalu tersesat dan lepas — hilang dari kelompok atau rombongannya. Peristiwa serupa ini dianggap menjadi sangat gaib lantaran selalu berulang pada setiap upacara bersama dilakukan.

Ada juga kejadian nyata lainnya yang tidak bisa dilupakan, dari kisah sang paman yang melakukan ibadah haji tahun 1960-an yang sering merasa di tempiling oleh tangan gaib setiap berada di tempat tertentu saat sendiri tiada teman. Sehingga sang istrinya pun merasa prihatin, hingga terpaksa untuk selalu berada di dekat suaminya. Sebab bekas tempilingan makhluk gaib itu jelas membekas di pipinya.

Kejadian dan peristiwa yang aneh dan menakjubkan ini sungguh nyata muatan nilai-nilai spiritualitas nya, meski tidak masuk akal. Karena dimensi dan frekuensi dari spiritualitas memang berada jauh di atas intelektualitas. Boleh jadi, ibadah haji ini pun, cara dari Tahun untuk menunjukkan cara menakar kepongahan intelektual manusia melalui pemahaman dan kecerdasan spiritual yang lebih dominan terabaikan.

Agaknya, ibadah haji ini sangat mungkin diwajibkan bagi mereka yang mampu untuk melakukannya, guna menakar sikap dan sifat rendah hati dan kepongahan kita sebagai manusia yang diharapkan Tuhan mengusung rahmatan lil alamin sebagai khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi.



Banten, 14 Januari 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *