Public Private Partnership Dalam Program Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) Di Kota Surakarta
Oleh : Bagus Prima Mahardhika
Di Indonesia saat ini, pemerintah tengah sibuk dalam membangun dan mengembangkan infrastrukturnya sebagai daya dukung meningkatnya perekonomian antar daerah. Di setiap pembangunan dari awal proyek hingga perealisasiannya tentu pemerintah tidak berjalan sendirian. Jika pemerintah berjalan sendirian dalam setiap pembangunan nasional ataupun daerah tentu akan menguras habis anggaran – anggara yang ada, yang dimana setiap anggaran tersebut ada tujuan dan peruntukannya masing — masing. Untuk itu, dalam memperoleh sumber pembiayaan pembangunan, pemerintah tidak harus mengandalkan APBN atau APBD yang ada. Oleh karena itu, pemerintah melakukan kerja sama dengan badan usaha atau swasta yang disebut dengan Public Private Partnership (PPP).
Sampah merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Hingga saat ini, sebagian besar sampah masih dibuang secara terbuka di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), meskipun beberapa TPA sudah menediatasi metode sanitary landfill. Sementara itu, hanya sebagian kecil sampah yang dimanfaatkan kembali oleh pemulung. Masalah sampah telah menjadi isu serius di berbagai daerah di Indonesia. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sumber penyakit dan mengurangi keindahan serta kenyamanan lingkungan sekitar (Arkasiwi et al., 2024). Volume sampah yang kian meningkat dapat menjadi “Bom Waktu”. Jika terus dibiarkan menumpuk, sampah akan menimbulkan masalah besar di masa mendatang, yang pada akhirnya akan sulit diatasi.
Kota Surakarta yang terletak di Provinsi Jawa Tengah tidak terlepas dari masalah pengelolaan sampah yang dipusatkan di TPA Putri Cempo, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres. Namun, lahan TPA seluas 17 hektar ini sudah dinyatakan overload sejak tahun 2010, baik dengan metode sanitary landfill maupun controlled landfill. Sejak saat itu, pengelolaan sampah di TPA Putri Cempo terpaksa mengandalkan metode open dumping.
Paradigma baru melihat sampah sebagai sumber daya terbarukan yang dapat dimanfaatkan melalui teknologi Waste-toEnergy (WtE) atau Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Hal ini didukung oleh UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang menyebutkan bahwa sampah bisa diubah menjadi energi. Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik mendukung percepatan program pengolahan sampah ini. Untuk melaksanakan pembangunan PSEL, Pemerintah dapat menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP). PPP dalam program PSEL dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta, melalui Dinas Lingkungan Hidup dengan melibatkan pihak swasta, yaitu PT Solo Citra Metro Plasma Power (SCMPP).
PPP program PSEL Putri Cempo menunjukkan fleksibilitas ketentuan kontrak melalui sembilan kali addendum yang mencerminkan perlunya penyesuaian terhadap berbagai perubahan eksternal. Namun, aspek regulasi dan legislatif, meskipun sudah diatur dengan jelas, masih menghadapi hambatan dalam implementasi, seperti tertundanya kajian AMDAL dan kesulitan teknis terkait penjualan listrik berbasis sampah kota.
Dari sisi faktor organisasi, pembagian tugas antar pihak sudah terstruktur, tetapi kualitas sumber daya manusia di tingkat Pemerintah Kota Surakarta masih memerlukan peningkatan. Partisipasi dan keterlibatan stakeholder eksternal sudah dilakukan, namun belum optimal dan perlu lebih berkelanjutan.
Program PPP PSEL Putri Cempo di Surakarta didukung oleh kooperasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota Surakarta, PT SCMPP, dan masyarakat, dengan kepercayaan yang memperkuat hubungan antar pihak serta komunikasi efektif dalam penyesuaian kontrak dan sosialisasi publik. Namun, program ini menghadapi hambatan pada tahap awal, termasuk keputusan yang menghambat proses lelang dan masalah teknis terkait karakteristik sampah serta pencemaran lingkungan. Selain itu, pembagian risiko yang tidak seimbang antara Pemerintah Kota dan PT SCMPP memperbesar ketidakpastian investasi dan menghambat keberlanjutan proyek.
Keterangan Penulis :
*Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo